Minggu, 24 Oktober 2010

Kultur Birokrasi Pelayanan Indonesia

REKONSTRUKSI KULTURAL BIROKRASI UNTUK KESEJAHTERAAN RAKYAT

Bambang Wicaksono[1]


Abstraksi


Desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan telah membawa implikasi luas pada perbaikan kehidupan politik. Demokrasi dan desentralisasi diharapkan menjadi pintu gerbang untuk mengantarkan masyarakat Indonesia yang sejahtera di segala aspek kehidupan. Melalui desentralisasi, birokrasi diharapkan mampu mengembangkan mindset dan kultur yang lebih humanis sehingga perumusan kebijakan menjadi lebih memihak pada kesejahteraan masyarakat. Reformasi birokrasi juga merupakan momentum tepat bagi birokrasi untuk melakukan pembenahan mendasar (rekonstruksi) terhadap tatanan kebudayaan yang melekat pada sistem organisasi. Rekonstruksi kebudayaan birokrasi akan menyentuh dimensi paling mendasar yakni perbaikan kinerja pelayanan publik yang bisa berdampak pada perbaikan kesejahteraan masyarakat di semua aspek kehidupan.
Key Words : Decentralization, Bureaucratic reform, Mindset and culture reconstruction, Public service delivery.


Pendahuluan


Reformasi politik tahun 1998 tidak saja memberikan harapan pada terjadinya perubahan tatanan politik nasional, namun diharapkan dapat pula membawa perubahan pada sistem birokrasi nasional. Selama lebih dari 32 tahun masa pemerintahan Orde Baru, birokrasi begitu memegang peran dan otoritas yang begitu besar dalam proses pengambilan kebijakan publik. Konstruksi tata hubungan antara masyarakat dengan pemerintah, baik di tingkat nasional maupun lokal, sangat bergantung pada intervensi birokrasi di dalamnya. Oleh karena itu, harapan akan adanya perubahan struktur dan kultur birokrasi pemerintah yang semakin profesional, memiliki landasan etika moral yang tinggi, dan mengabdi untuk kesejahteraan masyarakat luas menjadi suatu isu krusial di Indonesia.
Perubahan paradigma birokrasi, dari paradigma “mengatur” menjadi paradigma “melayani” dalam penyelenggaraan pelayanan publik, memerlukan adanya suatu upaya rekonstruksi kultur dan manajemen birokrasi. Kultur dan manajemen dalam birokrasi harus mengarah pada pencapaian sosok birokrasi yang profesional, efisien, efektif, dan responsif dalam penyelenggraan pelayanan publik. Kultur birokrasi yang selama masa Orde Baru menganut kultur kekuasaan, telah membawa implikasi pada adanya ketimpangan dalam konteks hubungan Negara-Masyarakat yang seharusnya berlandaskan pada prinsip keadilan dan kesetaraan. Birokrasi menjadi memiliki posisi yang begitu kuat dan dominan dalam proses pengambilan kebijakan-kebijakan strategis di masyarakat. Konstruksi struktur dan kultur birokrasi di Indonesia tersebut sangat tidak ideal dan jauh dari nilai-nilai birokrasi modern yang profesional, transparan, efisien, dan efektif sebagai salah satu dasar bagi pengembangan tata-pemerintahan yang ideal di Indonesia.
Demikian pula adanya UU Nomor 22/1999 yang diperbaharui dengan UU No.32/2004, menandai dimulainya kebijakan otonomi daerah yang membawa perubahan fundamental dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Kebijakan ini telah membawa implikasi luas pada berbagai dimensi penyelenggaraan pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah. Menurut Pratikno (1999), dengan adanya otonomi daerah, sebenarnya secara politik telah terjadi pergeseran lokus politik secara mendasar, yakni dari birokrasi ke politisi. Apabila pada masa Orde Baru, peran sentral dalam pengambilan kebijakan publik lebih banyak didominasi oleh birokrasi, maka pada era otonomi daerah berlaku sebaliknya. Otonomi daerah telah memberikan penguatan secara politik kepada para politisi atau anggota DPR/D. Peran dan kedudukan DPR/D dalam pengambilan kebijakan menjadi jauh lebih kuat sehingga birokrasi tidak dapat lagi mendominasi proses pengambilan keputusan.
Apabila birokrasi tidak dapat secara cepat merespon berbagai isu yang mencuat di atas, dikhawatirkan akan dapat mempengaruhi perwujudan tata-pemerintahan yang baik di daerah. Suatu tata-pemerintahan yang baik akan dapat tercipta apabila para pemangku kepentingan di daerah dengan penuh kesadaran mengembangkan nilai-nilai transparansi, partisipasi, penegakan hukum, keadilan, serta demokratisasi sehingga menjamin adanya mekanisme kontrol publik atas penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Pengembangan tata-pemerintahan yang baik akan menciptakan sistem birokrasi dan penyelenggaraan pelayanan publik yang efisien, transparan, responsif, dan publik akuntabel. Upaya ini dapat diwukudkan apabila birokrasi memang dipersiapkan dan dilakukan penataan struktur dan kultur pelayanan dengan berbasis pada manajemen pelayanan publik yang modern.
Namun, implementasi otonomi daerah belum memperlihatkan adanya konsekuensi perubahan secara mendasar pada birokrasi pemerintah. Kebijakan otonomi daerah yang diharapkan dapat memberikan pengalihan kewenangan yang lebih besar dari birokrasi kepada publik, ternyata masih memberikan peran dan kewenangan yang terlalu besar pada birokrasi. Birokrasi masih banyak membuat kebijakan yang tidak memihak kepada kepentingan publik. Kebijakan dalam bentuk Perda yang semata-mata berorientasi pada pendapatan daerah,  maupun besaran alokasi dana untuk memenuhi belanja kebutuhan rutin birokrasi, merupakan salah satu bukti kuat adanya kecenderungan tersebut.  
Birokrasi masih menjadi salah satu lembaga yang memiliki kekuatan politik sangat besar untuk mengontrol berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sebaliknya, warga masyarakat masih dalam posisi lemah untuk secara efektif mampu mengontrol perilaku pejabat birokrasi. Hal tersebut secara mudah dapat terlihat pada mekanisme pengambilan kebijakan APBD yang dilakukan secara tertutup di dalam rapat Panitia Anggaran sehingga publik tidak memiliki akses untuk mengontrol alokasi anggaran yang secara langsung dapat merugikan kepentingan publik, seperti peningkatan gaji/insentif anggota DPRD, peningkatan anggaran belanja pegawai, pembelian kendaraan dinas Bupati/Walikota, minimnya alokasi anggaran untuk program pendidikan, kesehatan, pengentasan kemiskinan, dan sebagainya. 
Selama otonomi daerah berlangsung, belum terlihat adanya perubahan secara sistematis pada birokrasi menyangkut pengembangan nilai-nilai tata-pemerintahan yang baik. Birokrasi belum sepenuhnya mengembangkan konsep tentang profesionalisme, transparansi, akuntabilitas, efisiensi, efektivitas nilai-nilai moral dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Banyaknya fenomena KKN di lingkungan birokrasi pemerintah, memperlihatkan tidak adanya kontrol publik secara efektif terhadap lembaga birokrasi pemerintah. Disamping itu, birokrasi dan pejabat di dalamnya cenderung masih mengembangkan paradigma ketertutupan dan logika kekuasaan dalam menjalankan fungsinya, seperti tidak adanya publikasi mengenai anggaran belanja pegawai secara terbuka dan terperinci kepada masyarakat, rente birokrasi dalam pemberian pelayanan publik, mekanisme kritik yang tidak berjalan efektif, serta tidak mengembangkan kriteria kinerja sebagai basis dalam menilai kompetensi pejabat atau pegawai di lingkungan birokrasi.

Pelayanan Publik dan Keseriusan Birokrasi


Berpijak pada realitas di atas, birokrasi pemerintah merupakan  salah satu bagian dari permasalahan publik yang penting untuk mendapat perhatian secara serius apabila tata-pemerintahan yang baik memang hendak dikembangkan pada masa-masa mendatang. Salah satu aspek dalam kinerja birokrasi pemerintah di Indonesia yang masih harus mendapatkan atensi besar adalah menyangkut penyelenggaraan pelayanan publik yang belum berbasis pada nilai-nilai profesionalisme, kompetensi, etika pelayanan, efisiensi, dan transparansi.  Urgensi pemberian pelayanan publik yang profesional, etis, efisien, transparan, dan akuntabel menjadi bagian penting dalam menopang dinamika kehidupan masyarakat modern yang semakin kritis dan menuntut adanya pelayanan publik yang profesional dari birokrasi pemerintah.
Pada masa otonomi daerah, kinerja penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh birokrasi belum memperlihatkan hasil yang optimal. Berdasarkan hasil penelitian GDS (2002)[2], menurut persepsi rumah tangga, kepastian biaya dan waktu pelayanan masih menjadi persoalan krusial bagi warga masyarakat (lihat, Gambar 1). Munculnya berbagai keluhan, tuntutan dan kekecewaan sebagian besar masyarakat yang pernah berurusan dengan birokrasi pemerintah, secara akumulatif sebenarnya dapat memperlihatkan adanya persoalan di tubuh birokrasi yang telah mencapai titik kritis untuk segera direspon format solusinya. Manajemen pelayanan publik yang seharusnya dikembangkan dalam bentuk pelayanan yang mengedepankan pada visi pelayanan yang berpihak pada customer-driven, secara faktual belum banyak dilakukan perubahan secara cukup mendasar di lingkungan birokrasi pemerintah. Orientasi pelayanan dari sebagian besar aparatur birokrasi pemerintah masih cenderung diarahkan untuk kepentingan birokrasi atau pejabat birokrasi, bukannya pada peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat (Dwiyanto, dkk., 2001).
Masyarakat yang sedang tumbuh ke arah masyarakat madani (civil society) menuntut adanya peran birokrasi pemerintah yang lebih adaptif terhadap penguatan hak-hak publik dalam pemberian pelayanan secara lebih luas dan berimbang. Oleh karena itu, pada masa-masa mendatang, birokrasi pemerintah harus mampu menjadi birokrasi yang kompetitif untuk melakukan reformasi manajemen pelayanan (Turner & Hulme, 1997) sehingga dapat memberikan performansi pelayanan yang sesuai dengan harapan dan kebutuhan publik atau pengguna layanan. Perubahan ke arah birokrasi yang memiliki corak kultur pelayanan, membawa implikasi besar terhadap perubahan manajemen pelayanan dalam birokrasi. Segenap jajaran aparatur birokrasi  dituntut untuk dapat merubah mind-set birokrasi dari yang korup, kolutif, dan nepotisme, menjadi aparatur birokrasi yang responsif, profesional, bersandar pada etika moral yang tinggi, dan publik akuntabel.
Tentu saja tuntutan perubahan mind-set dalam birokrasi di atas, dalam implementasinya banyak menyebabkan terjadinya berbagai bentuk benturan kepentingan dalam birokrasi. Sebagain kelompok dalam birokrasi tentu masih menganut paradigma lama yang akan berhadapan dengan sebagian kelompok dalam birokrasi yang mencoba menerapkan paradigam baru yang lebih berorientasi pada kepentingan publik. Konflik kepentingan antara warga dengan birokrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik, juga masih seringkali dijumpai di era otonomi daerah. Hal ini setidaknya ditunjukkan pada pengakuan salah seorang warga masyarakat yang sedang mengurus akta tanah atas kinerja aparat birokrasi yang masih korup pemberian pelayanan publik di salah satu Kabupaten di Jogjakarta berikut:

Saya pernah mengalami kekecewaan saat mengurus akta tanah di BPN, menurut petugas waktu selesainya akta tanah saya adalah 3 bulan. Namun Saya tunggu tidak pernah ada berita yang jelas, petugas hanya janji-janji melulu, saya harus bolak-balik 15 kali ke BPN. Saya mendapat informasi dari sesama warga pemohon, bahwa untuk mempercepat urusan akta tanah petugasnya harus diberi uang amplop. Akhirnya saya beri uang Rp. 20 ribu, dan ternyata lansung diproses.” (GDS, 2002).

Masih buruknya kualitas penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia (Dwiyanto, 2002), menunjukkan bahwa esensi dari kebijakan otonomi daerah masih belum dapat dipahami secara benar oleh banyak pejabat birokrasi. Penyelenggaraan pelayanan publik yang masih diskriminatif, terjadinya rente birokrasi, suap, pungutan liar, tidak adanya kepastian pelayanan, arogansi kekuasaan, serta masih lemahnya posisi tawar warga masyarakat terhadap pejabat birokrasi, menunjukkan bahwa mind-set birokrasi dalam meberikan pelayanan masih belum banyak mengalami perubahan seperti yang diharapkan.
Selama proses implementasi kebijakan otonomi daerah birokrasi pemerintah sedang mengalami masa adaptasi menuju pada perubahan yang sangat mendasar, baik secara struktur maupun kultur kelembagaannya sebagai sebuah institusi. Dalam proses menuju transformasi tersebut, birokrasi  dipengaruhi oleh berbagai variabel internal yang memegang peran besar dalam mewujudkan reformasi birokrasi. Komitmen para pejabat birokrasi, baik di pusat maupun di daerah dalam mengaktualisasikan prinsip-prinsip dasar tata-pemerintahan yang baik masih perlu diuji secara konkret. Pada prinsipnya, kapasitas kelembagaan birokrasi untuk mentransformasikan nilai-nilai baru seperti transparansi, akuntabilitas, keadilan, penegakan hukum, serta reformasi manajemen pelayanan publik, akan berkorelasi positif dengan perbaikan kinerja birokrasi pada masa mendatang.
Oleh karena itu selama masa otonomi daerah ini berlangsung, maka “krisis” akan dialami oleh birokrasi pemerintah. Keberhasilan dalam melakukan transformasi nilai-nilai kelembagaan baru akan memberikan sinyal positif pada keberhasilan birokrasi dalam mengatasi “krisis” dalam diri birokrasi. Sebaliknya, kegagalan birokrasi dalam merespon krisis dalam bentuk  melakukan perubahan paradigma dasar dalam birokrasi, akan membawa konsekuensi pada kegagalan dalam penataan ulang kelembagaan birokrasi pemerintah. Memang benar, bahwa selama otonomi daerah berlangsung pengalihan kewenangan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah tidak mengakibatkan gejolak atau kekacauan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Namun, kinerja pelayanan publik yang masih buruk akan menjadi titik sentral perhatian publik yang berpeluang menurunkan citra lembaga birokrasi pemerintah.
 Apabila Pemerintah tidak segera memikirkan langkah-langkah strategis untuk mereformasi birokrasi, tidak menutup kemungkinan memunculkan ‘kamuflase birokrasi’ yakni sebuah tipikal birokrasi yang hidup di jaman berbeda namun tetap menunjukkan watak dasarnya yang korup dan lemah dari sisi akuntabilitas kepada publik. Pergantian masa hanya sekedar menjadi pergantian waktu dan rezim penguasa. Pergantian era tidak bisa dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai momentum untuk menata kinerja birokrasi bagi perwujudan kesejahteraan masyarakat. Indikasi ini sangat terlihat pada kebijakan anggaran pemerintah yang menunjukkan lemahnya visi birokrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Kebijakan anggaran daerah (APBD) masih mengalami ketimpangan yang cukup mencolok dimana alokasi anggaran untuk kebutuhan rutin birokrasi masih jauh lebih besar dibandingkan dengan anggaran untuk kebutuhan pelayanan publik.

Daya Saing Birokrasi: Suatu Wacana Baru

Wacana tentang tingkat daya saing birokrasi suatu negara saat ini sudah merupakan suatu isu aktual seiring dengan masuknya era globalisasi. Bahkan, pelayanan publik saat ini tidak terlepas pula dari adanya fenomena globalisasi. Di banyak negara berkembang, seperti Malaysia atau India telah mengadopsi berbagai pendekatan manajemen pelayanan publik yang modern, seperti paradigma “the New Public Service’, citizens’ charter, e-government, e-procurement, dan lain sebagainya (lihat dalam, Government of Malaysia, 1996). Era globalisasi ini menjadi tantangan baru bagi birokrasi di banyak negara untuk dapat bersaing dengan negara-negara lainnya agar tetap mampu memberikan pelayanan yang baik pada para calon investor. Bahkan iklim investasi di suatu negara, akan sangat tergantung pada kinerja pelayanan dari birokrasinya. Saat ini birokrasi di masing-masing negara dituntut untuk dapat memberikan kinerja pelayanan yang dapat menarik minat kalangan investor untuk menanamkan modalnya. Regulasi yang berkaitan dengan penciptaan stabilisasi politik, kebijakan ekonomi dan perpajakan yang menarik, serta efisiensi birokrasi dalam pemberian pelayanan kepada para investor, merupakan beberapa kebijakan yang telah ditempuh oleh banyak negara untuk menarik investor ke suatu negara (Cullen & Chushman, 2000). Birokrasi pemerintah dengan demikian memegang peran sangat penting dalam rangka meningkatkan daya saing suatu negara di mata investor. Birokrasi yang efisien dalam pemberian pelayanan akan membawa konsekuensi pula pada efisiensi biaya ekonomi yang harus dikeluarkan oleh adanya suatu kegiatan investasi di suatu negara.
Perkembangan isu global di atas tentu saja membawa pengaruh besar pada keberadaan birokrasi pemerintah dalam menjalankan fungsi penyelenggaraan pelayanan publik. Para pengusaha atau investor telah menuntut agar birokrasi lebih efisien dalam pemberian pelayanan yang berkaitan dengan berbagai kepentingan duinia usaha. Namun pada kenyataannya, merujuk pada laporan The World Competitiveness Yearbook tahun 1999 (Cullen & Cushman, 2000), Indonesia berada pada posisi ke-96 dari 100 negara yang dinilai paling menarik untuk menanamkan investasi di dunia.  Bahkan dalam suatu Laporan Investasi Dunia yang dirilis oleh UNCTAD (United Nation Conference for Trade and Development) tahun 2003, peringkat investasi Indonesia berada pada urutan ke-138 dari 140 negara atau posisi Indonesia setara dengan Suriname (Jawa Pos, 5 September 2003).
Tentu saja kondisi tersebut tidak dapat dilepaskan dari masih tidak efisiennya kinerja birokrasi dalam turut serta menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi para calon investor. Begitu pula kemampuan birokrasi pemerintah dalam meningkatkan kinerja pelayanan dan profesionalisme sumber daya aparatur birokrasi masih tergolong rendah. Profesionalisme birokrasi yang mampu memberikan pelayanan yang efisien, juga masih jauh tertinggal apabila dibandingkan dengan negara-negara tetangga, seperti Thailand, Malaysia, Philipina, atau Singapura yang merupakan salah satu negara dengan birokrasi yang paling kompetitif di dunia bersama Canada dan Amerika Serikat.
Text Box: Boks 1. Feodalisme dalam rekrutmen pegawai.

Di salah satu kabupaten di Sulawesi, kebijakan perekrutan pegawai masih dilandasi dengan semangat feodalisme. Banyak pegawai atau pejabat Pemda yang menduduki jabatan strategis, berasal dari keturunan bangsawan atau famili dari bupati yang sedang berkuasa. Hal ini berdampak pada praktik pemberian pelayanan publik yang diskriminatif, termasuk dalam penentuan promosi jabatan di birokrasi tidak didasarkan pada prinsip meritokrasi. Uang suap menjadi salah satu instrumen yang harus dipergunakan untuk dapat mendapatkan kemudahan akses pelayanan pemerintah.

Sumber: Teladan dan Pantangan, GDS, 2002.Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa kemampuan birokrasi pemerintah untuk melakukan fungsi fasilitasi dalam mengelola berbagai potensi yang dimiliki oleh publik masih sangat terbatas. Kemampuan birokrasi pemerintah untuk memberikan kontribusi bagi peningkatkan daya saing nasional di antara negara-negara di dunia masih terlihat sangat rendah. Kinerja birokrasi dalam pemberian pelayanan yang berkaitan dengan perijinan dunia usaha misalnya, masih memperlihatkan tingkat profesionalitas yang rendah, seperti masih sering dijumpainya “uang pelicin”, diskriminasi pelayanan atas dasar hubungan pertemanan, ketidakpastian biaya, prosedur, dan waktu penyelesaian pelayanan (lihat, Boks 1). Kondisi di atas tentu saja membawa dampak pada kerugian dan kekecewaan  masyarakat atau kalangan dunia usaha ketika berurusan dengan birokrasi. Bahkan pada proses rekrutmen pegawai birokrasi di daerah, nuansa KKN masih seringkali dijumpai, hal ini tentu saja sangat mempengaruhi kualitasdan kinerja birokrasi secara keseluruan.
Masih suburnya budaya korup di lingkungan birokrasi pelayanan tentu saja membawa implikasi buruk pada upaya pencapaian kultur pelayanan birokrasi yang profesional. Selama ini pesoalan KKN dalam birokrasi seolah-olah telah menjadi praktek kolusi yang turun temurun semenjak era birokrasi kerajaan, kolonial, dan masa Orde Baru. Bahkan pada era otonomi dan reformasi saat ini, persoalan KKN masih tetap menjadi isu utama dalam birokrasi di Indonesia. Pergantian kepemimpinan di tingkat pusat, maupun perubahan sistem birokrasi yang lebih desentralistik pada tingkat Kabupaten/Kota, juga tidak banyak membawa perubahan atau perbaikan terhadap upaya pemberantasan KKN. Fenomena KKN dalam birokrasi ini memang cenderung terus bertahan sebagai akibat adanya kultur masyarakat Indonesia yang relatif permisif terhadap praktek korupsi. Sebagai contoh, masyarakat pun dengan mudah dan tanpa beban melakukan penyuapan kepada petugas atau polisi di jalan raya. Berdasarkan temuan GDS (2002:99), bahkan terdapat sebagian warga masyarakat menganggap wajar dan tetap membayar ketika diminta “uang rokok” oleh aparat birokrasi. Terlepas apakah petugas juga menerimanya, namun budaya yang hidup di masyarakat tentang suap menyuap kepada petugas atau aparat pemerintah patut menjadi gambaran betapa kultur korup juga masih hidup dan mungkin dilanggengkan oleh sebagian masyarakat kita.


 













         
Sumber: GDS, 2002.

          Berdasarkan gambar di atas, warga masyarakat memberikan penilaian buruk atas kinerja lembaga-lembaga penyelenggara pelayanan Pemerintah. Kinerja penyelenggaraan pelayanan publik pada tingkat yang paling mendasar sekalipun masih belum dapat memberikan pelayanan yang sesuai dengan harapan warga masyarakat. Secara nasional, kinerja lembaga-lembaga pelayanan publik pada tingkat paling bawah, seperti kantor kepolisian, kantor kecamatan, kelurahan, dan sebagainya, masih mengembangkan sistem pelayanan yang belum berpihak pada kepentingan warga pengguna layanan. Belum banyak terlihat tumbuhnya suatu kesadaran dan komitmen di kalangan birokrasi bahwa kepentingan dan kepuasan warga pengguna adalah orientasi utama dalam setiap pemberian pelayanan publik.
Pada era otonomi daerah terdapat kecenderungan terjadinya pergeseran poros KKN dalam birokrasi. Meskipun secara umum terjadi pergeseran pusat KKN dari birokrasi ke legislatif (GDS, 2002:111), namun birokrasi ternyata tetap merupakan aktor “penting” dalam peta KKN di era otonomi daerah. Apabila pada masa Orde Baru, poros KKN banyak melibatkan pejabat birokrasi pusat, pejabat birokrasi propinsi, dan Pengusaha, maka pada era otonomi daerah poros korupsi (terutama di daerah) tidak lagi banyak melibatkan pejabat pusat, melainkan berada di pihak Bupati/Walikota dengan pegusaha dan politisi lokal (anggota DPRD). Para “pemain lama” di tingkat lokal, seperti Gubernur telah mulai bergeser perannya digantikan oleh Bupati/Walikota. Para pengusaha saat ini lebih memilih untuk melakukan kolusi dengan Bupati/Walikota sebagai elit politik paling berpengaruh di daerah, khususnya dalam proses memperoleh tender proyek. Namun demikian, benang merah korupsi tetap sama yakni keterlibatan secara intensif politisi, pengusaha, dan pejabat birokrasi, hanya saja saat ini para “pemainnya” lebih banyak mengambil para “pemain lokal”. Pengakuan salah seorang pengusaha di Jawa Tengah berikut setidaknya dapat menggambarkan fenomena KKN di era otonomi daerah:

Para pengusaha di era otonomi daerah saya kira tidak banyak bedanya dengan zaman dulu, Anda kan tahu sendiri lah... bagaimana cara kita untuk mendapatkan proyek, semua harus keluar uang dulu. Dalam bisnis itu namanya kita harus keluar modal dulu, apa maunya mereka kita turuti saja, nanti kita akan tutup dengan dana proyek yang kita dapat.”

(Indept interview, GDS, 2002:141).

          Berbagai kondisi di atas tentu saja membawa implikasi buruk pada persoalan daya saing birokrasi pada era global. Upaya ke arah pencapian kinerja birokrasi yang efisien dan akuntabel akan semakin sulit diwujudkan apabila orientasi birokrasi masih belum mengarah pada kinerja kelembagaan yang memenuhi nilai-nilai kompetensi. Birokrasi yang kompetetif tentu saja membutuhkan perbaikan struktur dan kultur kelembagaan yang mengadopsi pendekatan manajerial pelayanan yang berbasis pada perubahan lingkungan. Birokrasi dengan demikian semakin dituntut untuk memperhatikan dan menyesuaikan diri dengan kebutuhan dan tuntutan lingkungan pelayanan, termasuk di dalamnya para pengguna layanan. 
Reformasi manajemen birokrasi perlu diarahkan pada perombakan manajemen pelayanan publik, seperti misalnya birokrasi harus dapat mengubah pandangan negatif di masyarakat bahwa berurusan dengan birokrasi pemerintah identik dengan urusan yang rumit, membosankan dan memerlukan uang ekstra agar urusan dapat segera diselesaikan. Birokrasi harus dapat mengubah sikap dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, pejabat birokrasi harus dapar merubah penampilan dari sosok penguasa menjadi sosok yang penuh keramahan, persahabatan, dan sangat membantu ketika berhadapan dengan masyarakat. Birokrasi harus dapat mengadopsi ide-ide atau pemikiran bahwa masyarakat diperlakukan sebagai “pelanggan” (klien atau customer) yang keberadaannya mampu menentukan hidup matinya organisasi birokrasi. Memberikan pelayanan yang memuaskan pengguna layanan, harus diartikan sebagai “profit” bagi organisasi yang akan membuat birokrasi tetap diapresiasi dan dibutuhkan oleh masyarakat.

Krisis Pemberian Pelayanan

Selama kebijakan otonomi berlangsung, tidak terlihat perubahan secara signifikan terhadap perbaikan pelayanan publik di berbagai daerah. Memang terdapat kabar baik dengan adanya kebijakan ini, yakni perpindahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah Kabupaten/Kota dalam pemberian pelayanan publik ternyata masih tetap berlangsung secara normal, tanpa adanya guncangan atau gangguan yang benar-benar dapat membuat sistem pelayanan menjadi kacau. Namun begitu, apabila melihat kondisi pelayanan publik yang buruk semasa sebelum adanya kebijakan otonomi daerah, maka kondisi di atas dapat diartikan bahwa sebenarnya sistem pelayanan publik di Indonesia saat ini berlangsung secara stagnan. Artinya belum terjadi perubahan atau perbaikan terhadap sistem penyelenggaraan pelayanan publik secara baik.
Kemampuan birokrasi pelayanan dalam melakukan tindakan inisiatif pelayanan untuk memuaskan pengguna jasa juga masih terlihat sangat lemah. Birokrasi pelayanan masih sangat rules-driven dalam mengambil keputusan. Pola penerapan aturan secara kaku membuat ruang inisiatif menjadi amat terbatas, sehingga para pejabat birokrasi tidak dapat secara bebas melakukan inovasi pelayanan menyesuaikan dinamika masyarakat yang terus berubah. Dalam era globalisasi dan kompetisi, birokrasi dituntut mampu bekerja secara efektif dan efisien untuk merespon tuntutan dinamika masyarakat yang semakin berkembang.  Apalagi di Indonesia sampai saat ini belum dikenal adanya konsep “sunset rules[3], sehingga amat membatasi keberanian pejabat birokrasi untuk melakukan inovasi pelayanan. Dengan demikian birokrasi masih belum menunjukkan arah untuk memperbaiki kinerja pelayanan yang menghargai kreativitas kerja dan tindakan-tindakan inovatif dalam pemberian pelayanan. Sebaliknya, birokrasi masih terkurung dalam budaya kerja yang bersandar pada mentalitas “minta petunjuk” pimpinan dalam setiap gerak langkahnya, sehingga banyak pola pengambilan keputusan pelayanan yang dirasa sangat lamban dan merugikan masyarakat pengguna layanan. Sebagian besar aparat birokrasi pada saat menemui kesulitan dalam penyelenggaraan pelayanan, justru lebih memilih untuk melakukan penundaan pelayanan yang berakibat pada kerugian warga pengguna layanan ( Dwiyanto, dkk., 2001).

Gambar.. Tindakan Aparat Ketika

Menemui Kesulitan Tugas

Sumber : PSKK UGM, dalam Dwiyanto dkk, 2001.

Tindakan yang dilakukan oleh sebagian besar aparat birokrasi tersebut menunjukkan bahwa budaya kerja di lingkungan birokrasi pelayanan pemerintah belum kondusif bagi penerapan “budaya pelayanan” dalam penyelenggaraan pelayanan kepada warga masyarakat. Para pejabat birokrasi terlihat belum banyak memberikan dukungan bagi pengembangan inovasi dan inisiatif pelayanan kepada para aparat birokrasi pada tingkat bawah (street-level bureucracy). Bahkan pimpinan masih cenderung mengembangkan budaya kekuasaan dalam manajemen pelayanan birokrasi. Kelambanan proses pelayanan di birokrasi seringkali dilakukan dengan berlindung di balik aturan dan prosedur formal yang terkadang sangat sulit untuk dapat dipenuhi oleh warga masyarakat. Inovasi pelayanan di birokrasi masih sulit dikembangkan selama aturan formal masih diperlakukan sebagai the driving force oleh pejabat birokrasi dalam menyelenggarakan pelayanan publik. Penuturan seorang pejabat di salah satu Kantor Badan Pertanahan Nasional kabupaten di bawah ini bisa menggambarkan adanya paradoks dalam penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia :

Kita tidak mungkin bertindak mendahului Pimpinan, sebab kita tidak mau disalahkan. Semua tindakan kita harus diketahui oleh Pimpinan dan harus selalu sesuai dengan prosedur. Warga harus mengikuti aturan yang ditetapkan oleh pemerintah!.” (Indept Interview, dalam Dwiyanto,dkk. 2001).

Diskresi dalam pemberian pelayanan sebenarnya dimungkinkan asalkan didasarkan pada visi pelayanan. Dalam banyak kasus, banyak aparat birokrasi yang lebih berpegang pada juklak pelayanan dibandingkan dengan visi pelayanan. Hal ini menandakan bahwa visi pelayanan belum dapat dipahami dan diaktualisasikan dalam birokrasi pelayanan secara baik. Sebagai contoh, Kita seringkali melihat di setiap sudut kantor pemerintah selalu terpampang spanduk/poster/slogan yang berbunyi: “kami siap membantu anda”, “Mari kita wujudkan pelayanan prima” dan lain sebagainya. Namun ternyata masih banyak aparat birokrasi yang belum dapat memahami dan menerapkan slogan-slogan itu secara baik dalam pemberian pelayanan sehari-hari. Di sini sebenarnya salah satu akar persoalan birokrasi dalam pemberian pelayanan, yakni secara internal aparat birokrasi sebenarnya belum siap secara kultur untuk menjalankan visi organisasi. Bahkan dalam banyak kasus pelayanan, aparat birokrasi ternyata belum mampu membedakan antara visi dengan slogan atau motto pelayanan. Visi seharusnya ditempatkan sebagai “jiwa pelayanan”, artinya visi harus dapat menuntun aparat dalam pemberian pelayanan, karena visi adalah diibaratkan sebagai “lentera pelayanan” yang dapat tercermin dalam langkah, sikap, dan tindakan aparat pelayanan kepada masyarakat.


Penutup

Reformasi dan otonomi daerah ternyata belum membawa dampak  yang signifikan pada terciptanya perubahan kinerja pelayanan birokrasi yang profesional dan mampu mengembangkan jiwa kewirausahaan birokrasi, sekaligus membuat pelayanan menjadi efisien. Orintasi pemberian pelayanan yang diarahkan untuk mengubah dari “budaya petunjuk” ke arah “budaya melayani” ternyata belum belum berjalan secara optimal membawa perubahan  dalam sistem dan budaya pelayanan birokrasi. Pelayanan juga masih belum mengalami titik pergeseran dari sekedar “memenuhi aturan” ke arah “kepuasan” pelayanan. Sistem manajemen pelayanan masih memerlukan upaya sistematis dan berkesinambungan untuk diarahkan pada bentuk pelayanan yang  memberikan kewenangan lebih besar kepada aparat pelayanan di tingkat bawah untuk melakukan inovasi kebijakan pelayanan yang berdasar pada visi dan misi pelayanan. Peningkatan kemampuan aparat untuk melakukan hal tersebut tentu saja membawa konsekuensi pada penciptaan dan penghargaan terhadap sosok birokrasi pemikir, bukannya pada sosok birokrasi “robot” yang secara kaku memahami dan mentaati suatu peraturan seperti sebuah “kitab suci” pelayanan.
Kebijakan peningkatan kualitas SDM aparat birokrasi melalui dukungan pada studi lanjut aparat ke jenjang pendidikan tinggi, perlu mendapatkan prioritas sebagai bagian dari peningkatan komitmen pengembangan staf di lingkungan birokrasi pelayanan. Pendidikan dan pelatihan teknis yang selama ini diberlakukan oleh Depdagri, kenyataannya tidak mampu meningkatkan kinerja aparat karena hanya dipergunakan sebagai batu loncatan karier semata. Melalui pengiriman aparat ke berbagai perguruan tinggi untuk studi lanjut dan melakukan short-course, diharapkan akan meningkatkan penguasaan konsep-konsep dan pendekatan menajemen pelayanan modern oleh para staf birokrasi pelayanan.
Budaya dalam birokrasi juga masih belum beranjak banyak dari kultur penguasa dalam berinteraksi dengan masyarakat. Belum banyak birokrasi pemerintahan pada tingkat Kabupaten/Kota yang telah mengembangkan semacam Public Service Award yang dapat dipergunakan untuk mengukur kinerja seorang Bupati/Walikota atau Kepala Unit Pelayanan teknis Pemda dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat. Pelembagaan pelayanan publik yang diarahkan pada kepuasan pengguna layanan, seperti misalnya pelembagaan citizens’ charter juga masih belum terlihat dikembangkan oleh birokrasi di daerah. Kondisi-kondisi tersebut yang belum banyak diberikan perhatian besar oleh pemerintah daerah sehingga kultur pelayanan birokrasi pemerintah belum secara efektif mengalami perubahan.
Apabila birokrasi di daerah tidak secara serius mencoba untuk melembagakan sistem pelayanan yang berorientasi pada pengguna layanan, maka birokrasi akan sulit untuk keluar dari “krisis” pemberian pelayanan. Sampai saat ini kultur birokrasi yang masih bercorak “Pengatur” masih tetap dominan, dan belum berubah menjadi kultur “melayani”. Adanya otonomi daerah diharapkan akan dapat memberikan masa transisi pada birokrasi untuk melakukan perubahan strategi manajemen dan kultur birokrasi yang lebih baik di masa-masa mendatang. Oleh Karena itu, birokrasi harus mulai mencoba suatu paradigma baru pemberian pelayanan yang memberikan perhatian yang lebih besar kepada masyarakat pengguna layanan, seperti penerapan pendekatan ‘Citizens Charter” yang sedang dilakukan oleh Pemerintah Kota Jogjakarta, Kota Blitar, dan Kabupaten Semarang.


Referensi

Cullen, Ronald B. & Donald P. Cushman. 2000. Transtitions to Competitive Government: Speed, Consensus, and Performance, State University of New York Press.
Deal, Terrence E. & Allan A. Kennedy. 1982. Corporate Culture: The Rites and Rituals of Corporate Life, Addsion-Wesley Publishing Company, Inc., Massachucetts.
Dwiyanto, Agus. dkk., 2001. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Laporan Penelitian, Kerjasama Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada dan Ford Foundation., Yogyakarta.
Governance and Decentralization Survey (GDS). 2002. Pusat Studi Kependudukan dan Kbeijakan, Partnership for Government Reform, USAID, dan Bank Dunia.
Government of Malaysia. 1996. The Civil Service of Malaysia: Towards Excellence Through ISO 9000, PNMB Publisher, Kuala Lumpur.
Osborne, David & Peter Plastrik. 1997. Banishing Bureaucracy: The Five Strategies for Reinventing Government, Addsion-Wesley Publishing Company, Inc., Massachucetts.
Pratikno. 1999. Mengisi Otonomi DIY, Artikel Lepas dalam Debat Opini Otonomi Daerah, Harian Kedaulatan Rakyat, 16 November, Yogyakarta
Turner, Mark & David Hulme. 1997. Governance, Administration and Development, Kumarian Press, Inc., Connecticut
Zeithaml, Valerie A., A Parasuraman & Leonard L. Berry. 1990. Delivering Quality Service: Balancing Customer Perceptions and Expectations, The Free Press A Division of Macmillan, Inc. New York.

Harian:

Jawa Pos, 5 September 2003. “Indonesia Selevel Suriname Dalam Peringkat Investasi Asing.”




[1] Peneliti pada Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM & Staf Pengajar Magister Studi Kebijakan (MSK) UGM.
[2] Governance and Decenralization Survey, 2002. Kerjasama Bank Dunia dan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM.
[3] Sunset rules adalah suatu ketentuan bahwa sebuah peraturan ditentukan masa berlakunya sehingga apabila peraturan tersebut tidak disahkan kembali, maka peraturan tersebut boleh dilanggar oleh pejabat publik. Ketentuan ini untuk memberikan ruang diskresi kepada para pejabat publik dalam mengantisipasi perubahan atau dinamika masyarakat yang sangat cepat sehingga peraturan yang ada seringkali menjadi tidak relevan dengan perkembangan jaman.

Indeks Kepuasan Layanan Pendidikan Kota Jogja 2009

Capaian Kinerja Pelayanan Pendidikan Di Kota Yogyakarta
Melalui Pengukuran Indeks Kepuasan Layanan 2009[1]

Bambang Wicaksono[2]



A. Pendahuluan

Salah satu tujuan dari kebijakan otonomi daerah adalah mewujudkan pelayanan publik yang berkualitas. Indikasi dari kualitas pelayanan publik ini antara lain adalah ketika masyarakat merasa puas dengan pelayanan  yang diselenggarakan oleh pemerintah. Begitu pula di sektor pendidikan, sebagai salah satu sektor layanan publik dasar yang baru mendapatkan perhatian besar dari Pemerintah. Sesuai amanat UU No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, dikemukakan bahwa pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak, serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Kebijakan nasional ini kemudian dijabarkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) No.48 Tahun 2008 Tentang Pendanaan Pendidikan, dimana diatur bahwa Pemerintah Daerah harus mengalokasikan anggaran dari belanja daerah sekurang-kurangnya 20% untuk pendidikan.
Pemerintah Kota Yogyakarta sampai saat ini masih terus melakukan inovasi kebijakan agar dapat mempertahankan dan meningkatkan citra sebagai kota pendidikan. Visi pendidikan yang menitikberatkan pada ikon Yogyakarta sebagai kota pendidikan berkualitas, mensyaratkan adanya perbaikan mutu pelayanan pendidikan bagi masyarakat kota Yogyakarta. Potensi pendidikan di Kota Yogyakarta sangat besar, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Kota Yogyakarta juga sebagai barometer pendidikan nasional yang menjadi rujukan bagi daerah-daerah lain di Indonesia. Sebagai Kota Pelajar, Yogyakarta juga menyimpan potensi pengembangan sumber daya manusia generasi muda yang dapat memberikan kontribusi bagi pencapaian tujuan pembangunan nasional.
Adanya peningkatan aspirasi pelayanan dari masyarakat pengguna yang menuntut perlunya perbaikan kualitas pemberian layanan publik dari Pemerintah. Saat ini warga atau publik telah menjadi semakin kritis untuk menyuarakan kepentingan-kepentingan mereka yang berkaitan dengan penyelenggaraan pelayanan. Demikian pula iklim good governance menuntut agar penyelenggaraan pelayanan publik dapat semakin transparan, berkepastian, responsif, efisien, dan menghargai hak-hak dan kewajiban pengguna layanan. Masyarakat pada saat ini sudah semakin well-informed menyangkut berbagai informasi pelayanan penyelenggaraan pelayanan publik. Namun, seringkali informasi yang diterima masyarakat tersebut berasal dari sumber mass media, yang seringkali tidak akurat. Tentu saja kondisi demikian bila dibiarkan akan dapat menyesatkan, karena publik tidak akan pernah mendapatkan sumber informasi yang dapat dipercaya (kredibel) dan akurat menyangkut penyelenggaraan pelayanan publik.
Oleh sebab itu, kebutuhan akan adanya indeks kepuasan layanan pendidikan tidak saja penting bagi Pemerintah Kota Yogyakarta, tetapi juga penting bagi masyarakat sebagai pengguna layanan dan pemangku kepentingan pendidikan lainnya. Dengan adanya indeks pendidikan, diharapkan akan dapat memunculkan berbagai inovasi program pendidikan yang mengarah pada perwujudan Yogyakarta sebagai Kota Pendidikan Berkualitas.

B. Kerangka Konseptual
Reformasi pelayanan publik mulai dikembangkan dan dilakukan di negara-negara Eropa Barat  pada awal tahun 1980-an. Satu paradigma baru yang dikembangkan dalam reformasi pelayanan publik di Eropa Barat adalah apa yang dinamakan sebagai “Neo-Managerial Reform[3], dimana terdapat beberapa prinsip global berkaitan dengan penyelenggaraan pelayanan publik, yakni antara lain; (1) a business oriented approach to government; (2) a quality and performance oriented approach to public management; (3) an emphasis on improved public service delivery and functional responsiveness. Reformasi pelayanan publik yang dilakukan negara-negara Eropa Barat dengan demikian telah lama mengadopsi prinsip-prinsip bisnis ke dalam sistem pelayanan birokrasi Pemerintah, seperti adanya indikator kinerja untuk melihat kualitas penyelenggaraan pelayanan publik.
               Denhardt & Denhardt[4] menyatakan bahwa “public choice theory” merupakan jembatan penghubung dan kunci teoritis yang menjadi dasar adanya “The New Public Management”. Beberapa prinsip dalam teori “Public Choice”, seperti adanya asumsi bahwa individu-individu cenderung berperilaku rasional, yakni “memaksimalkan keuntungan/manfaat” dalam mengambil suatu keputusan, dan adanya konsep “public goods” sebagai output dari adanya insitusi/badan-badan penyelenggara pelayanan publik, memperlihatkan bahwa individu-individu dalam masyarakat selalu berupaya memenuhi kepentingannya dan memaksimalkan keuntungan dari adanya pelayanan yang diselenggarakan oleh Pemerintah. Individu-individu selalu berupaya agar mereka mendapatkan keuntungan yang maksimal dari adanya pelayanan yang diberikan oleh Pemerintah, seperti dari sisi waktu, biaya, kemudahan prosedur layanan, dan sebagainya.
Ide dasar dari munculnya “the New Public Service” ini sebenarnya berbasis pada perkembangan dari “the New Public Management”, terutama adanya perkembangan diskursus konseptual dari adanya; (1) theories of democratic citizenship; (2) models of community and civil society; (3) organizational humanism and the new public administration; (4) postmodern public administration. Dalam konsep “Democratic Citizenship”, apa yang dimaksud dengan “Citizenship” merujuk pada kemampuan yang dimiliki oleh individu-individu sebagai anggota suatu komunitas politik untuk dapat mempengaruhi sistem politik, ini membawa konsekuensi pada keterlibatan warga negara dalam proses kehidupan politik. Pada konteks administrasi publik, suatu konsep yang berkembang dalam buku “Government is Us” (King & Stivers, 1998) dan “Citizen Governance” (Box, 1998)[5] telah memunculkan pemikiran bagaimana pejabat birokrasi dalam membuat dan merumuskan suatu bentuk pemerintahan yang menjadikan pengguna layanan sebagai pusat perhatian.
               Pejabat birokrasi harus melihat dan menempatkan warga pengguna layanan sebagai “warga kota/negara” (citizens), lebih dari sekedar sebagai sekumpulan individu-individu pemberi suara dalam pemilu, klien, atau bahkan sebagai “customers” sekalipun. Oleh karena itu, birokrasi harus dapat responsif dan senantiasa menjalin komunikasi dengan warga masyarakat untuk memperoleh atau memelihara “kepercayaan warga”. Kepercayaan dari warga (citizen trust) hanya dapat diperoleh bila birokrasi dapat secara sistematis melibatkan warga masyarakat dalam proses penyelenggaraan tata-pemerintahan dan pemberian pelayanan. Konsep pelibatan warga dalam keseluruhan proses “governance” (theories of citizenship and civic engagement) ini yang mendasari munculnya terminologi “the New Public Service”.
               Terdapat 7 Prinsip dasar dalam pemikiran “the New Public Service”, yakni; (1) Serve citizens, not Customers; apa yang menjadi kepentingan publik merupakan hasil dari adanya dialog (shared values) dari berbagai individu dalam masyarakat. Pejabat birokrasi dengan demikian tidak hanya merespon apa yang menjadi kebutuhan dari “customers-nya” saja, melainkan juga harus tetap membangun hubungan, membangun kepercayaan dan kerjasama dengan berbagai kelompok/individu dalam masyarakat lainnya; (2) Seek the public interest; pejabat birokrasi harus memberikan kontribusi pada apa yang dinamakan “kepentingan bersama”, birokrasi harus mampu mentransformasikan pemikiran adanya pembagian tanggungjawab dalam penyelenggaraan pelayanan publik, artinya masalah yang muncul dalam pemberian pelayanan publik adalah masalah bersama yang harus dipikirkan dan dipecahkan bersama pula; (3) Value citizenship over enterpreneurship, kepentingan publik adalah kondisi yang lebih baik yang akan diwujudkan oleh birokrasi pelayanan, perwujudan oleh birokrasi dari apa yang menjadi kepentingan publik ini merupakan sumbangan yang jauh lebih berharga bagi kemajuan masyarakat; (4) Think strategically, Act Democratically, kebijakan dan program yang dibuat harus mencerminkan kebutuhan warga masyarakat, serta harus dilaksanakan secara efektif, responsibel melalui suatu proses kegiatan yang kolaboratif; (5) Recognize that accountability is not simple, pejabat birokrasi harus memberikan perhatian lebih pada mandat yang diberikan oleh Undang-Undang pada birokrasi untuk menyelenggarakan pelayanan pada publik, nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat, norma-norma politik, standar profesionalisme, dan kepentingan warga dalam menyelenggarakan pelayanan; (6) Serve rather than Steer, model kepemimpinan dan manajemen dalam birokrasi harus dapat menjamin dan membantu kepentingan dan aspirasi warga dapat tersalurkan secara efektif dalam sistem pelayanan, jadi birokrasi bukan sekedar melakukan pengawasan pada aktivitas warga melalui serangkaian penciptaan regulasi yang membatasi kegiatan warga; (7) Value people, Not Just Productivity, birokrasi sebagai organisasi publik dapat menjalankan misinya bila mengadopsi prinsip-prinsip partisipasi, mengedepankan proses kolaboratif, dan menganut pola kepemimpinan yang menghargai semua warga masyarakat.


C. Metodologi

Dalam studi ini, fokus diarahkan pada proses penyelenggaraan pelayanan pendidikan yang diselenggarakan oleh berbagai satuan penyelenggara pelayanan pendidikan di lingkup Dinas Pendidikan, Kota Yogyakarta. Satuan/Unit penyelenggara pendidikan yang dimaksud antara lain; (1) Sekolah Dasar Negeri; (2) SMP Negeri; (3) SMA Negeri; dan (4) SMK Negeri. Dengan demikian, cakupan kegiatan pengukuran indeks pendidikan hanya difokuskan pada sekolah-sekolah negeri, mulai dari tingkat dasar, menengah, dan kejuruan yang berada di Kota Yogyakarta.
Studi ini akan melihat tingkat kepuasan pengguna layanan pendidikan. Yang dimaksud pengguna layanan pendidikan dalam penelitian ini adalah para siswa dan/atau orang tua/wali siswa. Responden dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi dua jenis, yakni; (1) responden siswa untuk tingkat SMP Negeri, SMA Negeri dan SMK Negeri. (2) responden orang tua/wali siswa untuk tingkat pendidikan SD Negeri.
Teknik penentuan sampel sekolah mempergunakan dua jenis metode, yakni; (1) untuk penentuan jumlah sampel SD Negeri didasarkan pada referensi tabel Folz dengan tingkat kesalahan pengambilan sampel atau sampling error sebesar 5%. Sedangkan untuk pemilihan sampel SD Negeri dilakukan dengan metode acak sederhana (Simple Random Sampling). (2) untuk sampel sekolah SMP Negeri, SMA Negeri dan SMK Negeri mempergunakan teknik purposif dengan jumlah sampel 50% +1 dari tiap-tiap kelompok. Jumlah responden siswa SD Negeri sebanyak 500 orang, responden siswa SMP (180 orang), SMA (140 orang) dan SMK (80 orang). Jadi total responden sebanyak 900 orang. Adapun teknik pengambilan responden menggunakan metode acak sederhana (simple random sampling).
Setelah jumlah responden ditentukan, maka langkah untuk memilih siswa yang akan menjadi responden penelitian adalah sebagai berikut: (1) melihat daftar nama-nama siswa dari buku register siswa; (2) menyusun kerangka sampel; (3) Memilih sampel melalui cara sistem undian dengan mempergunakan program SPSS (Select cases, random sampling of cases, sample, dst), sampai memperoleh jumlah sampel sekolah sebanyak yang telah ditentukan di atas; (4) proses pemilihan dengan mempergunakan teknik acak sederhana; (5) membuat daftar nama siswa sebagai responden terpilih.

D. Analisis Indeks Kepuasan Masyarakat Bidang Pendidikan

Pelayanan publik merupakan unsur yang sangat penting dalam sistem masyarakat     modern. Tujuan pelayanan publik adalah untuk menyediakan pelayanan yang terbaik bagi publik atau masyarakat. Pelayanan yang terbaik adalah pelayanan yang memenuhi apa yang dijanjikan atau apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh masyarakat. Pelayanan terbaik akan membawa implikasi terhadap kepuasan publik atas pelayanan yang diterima.
Salah satu jenis layanan publik yang sangat mendasar bagi masyarakat adalah sektor pendidikan. Pada pasal 5, Undang-Undang No 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, menyebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Oleh karena itu penyusunan indeks kepuasan masyarakat terhadap layanan pendidikan merupakan sesuatu yang sangat penting dilakukan untuk melihat sejauhmana tingkat kepuasan masyarakat terhadap layanan pendidikan khususnya yang ada di wilayah pemerintah kota Yogyakarta.

Indeks Menurut Tingkatan Pendidikan

Penilaian indeks kepuasan layanan pendidikan dalam hal ini diukur dengan menggunakan enam indikator meliputi: 1. Metode Pembelajaran, 2. Metode evaluasi belajar, 3. Kinerja guru, 4. Fasilitas sekolah, 5. Tata kelola sekolah dan 6. etika pelayanan. Besaran angka indeks kepuasan pengguna layanan  berkisar dari  angka 0 sampai dengan 1. Semakin dekat indeks kepuasan terhadap angka 1, maka semakin puas masyarakat pengguna layanan terhadap kualitas layanan. Sebaliknya semakin jauh indeks kepuasan terhadap angka 1 (dekat dengan angka 0) maka semakin tidak puas masyarakat pengguna layanan terhadap kualitas layanan.
Secara umum tingkat kepuasan layanan pendidikan pada sekolah negeri di lingkungan pemerintah kota Yogyakarta berdasarkan persepsi siswa sudah cukup tinggi dengan rentang indeks berkisar antara  0,76 s/d 0,82. Perbedaan indeks diantara masing-masing jenjang tidak terlalu siginifikan, namun demikian jika dibandingkan Kualitas layanan pendidikan pada level pendidikan dasar (SD dengan  indeks   0,82   dan  SMP dengan indeks 0,81) memiliki tingkat kepuasan lebih tinggi dibandingkan pada level pendidikan menengah  (SMA dengan indeks 0,78 dan SMK dengan indeks 0,76) (Lihat, Bagan 1).
Dari indeks kepuasaan layanan Pendidikan SD menunjukkan bahwa indeks kepuasan tertinggi  untuk siswa Sekolah Dasar adalah pada etika pelayanan sebesar 0.98. Kemudian baru disusul fasilitas sekolah 0,88, tata kelola sekolah 0,76, metode pembelajaran 0,76, metode evaluasi belajar 0,73 dan terakhir kinerja guru 0,71.  
Angka penilaian ini dapat dikatakan cukup baik dan tentunya sangat positif bagi pengembangan siswa untuk sekolah lebih lanjut. Tingginya indeks kepuasan untuk  kategori etika pelayanan ini dimungkinkan karena pada saat pendidikan sekolah dasar orientasi pembelajaran kepada siswa lebih diarahkan pada penanaman budi pekerti siswa sehingga menjadi sangat logis ketika penilaian siswa SD terhadap etika pelayanan ini cukup tinggi. Untuk fasilitas sekolah juga menunjukkan angka indeks yang tinggi.  Ini mengindikasikan bahwa persoalan fasilitas tidak menjadi kendala bagi siswa SD.
Angka indeks berikutnya  disusul tata kelola sekolah.  Dalam konteks ini sudah ada pengelolaan dan ruang publik yang lebih terbuka dan transparan dalam pengembangan proses pembelajaran di sekolah. Situasi ini menjadi penting  bagi pengembangan iklim di sekolah yang lebih demokratis  sehingga harapannya mampu mendorong partisipasi anak sekolah sejak usia dini.
Indeks untuk metode pembelajaran sama dengan indeks untuk tata kelola sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa siswa merasakan kemudahan dalam memahami pelajaran-pelajaran di sekolah dan merasa puas atas proses pembelajaran yang dilakukan sekolah. Setelah metode pembelajaran, indeks kepuasan siswa SD berikutnya adalah kepuasan terhadap evaluasi belajar dan kinerja guru. Meskipun angka indeks untuk hal tersebut lebih rendah dibandingkan yang lain akan tetapi angka indeks masih cukup bagus. Artinya, tingkat kepuasan siswa terhadap evaluasi belajar sudah cukup baik . Demikian juga penilaian siswa terhadap kinerja guru yang dapat dikatakan masih cukup baik. Paling rendahnya indeks terhadap kinerja guru dimungkinkan karena untuk SD ada beberapa guru yang merangkap mengajar untuk beberapa mata kuliah sehingga pelayanan menjadi tidak optimal.
Sama halnya dengan siswa SD indeks kepuasan layanan pendidikan untuk SMP menunjukkan bahwa indeks kepuasan tertinggi  untuk siswa SMP pada etika pelayanan sebesar 0.83. Kemudian disusul metode evaluasi belajar 0,76, metode pembelajaran 0,73, kinerja guru 0,71, tata kelola sekolah 0,65 dan fasilitas sekolah 0,61.  Tingginya akan indeks untuk kategori etika pelayanan  tersebut  dikarenakan orientasi pembelajaran di sekolah menengah masih menekankan pada pentingnya etika dan budi pekerti pada siswa. Pemahaman etika dalam proses pendidikan memiliki arti strategis bagi perkembangan perilaku anak di kemudian hari. Para siswa SMP yang menjadi responden juga memberikan penilaian yang cukup baik dalam metode evaluasi belajar, metode pembelajaran dan kinerja guru. Ini artinya mereka sudah merasa puas dengan aspek tersebut. Sementara kategori yang mendapatkan indeks terendah untuk siswa SMP adalah tata kelola sekolah dan fasilitas sekolah. Ini tentunya sangat ironis mengingat dua aspek tersebut merupakan aspek pendukung yang dibutuhkan oleh sekolah untuk mengembangkan proses pembelajaran yang lebih baik.
Untuk indeks kepuasan layanan pendidikan SMA berbeda dengan indeks kepuasan layanan pendidikan SD dan SMP. Metode pembelajaran memperoleh indeks kepuasan tertinggi yaitu sebesar 0,82, disusul fasilitas sekolah 0,77, kinerja guru 0,75, etika pelayanan 0,73, metode evaluasi belajar 0,73 dan terakhir justru pada tata kelola sekolah yang dapat dikatakan cukup rendah 0,58. Nilai tertinggi untuk  metode pembelajaran tersebut mengindikasikan bahwa  proses pembelajaran di SMA telah semakin bervariatif, tidak sekedar model ceramah saja akan tetapi juga sudah mulai menggabungkan dengan metode diskusi dan analisis. Hal ini wajar mengingat untuk usia anak SMA mereka sudah memiliki rasionalitas berfikir yang lebih dibandingkan anak SD dan SMP. Dengan demikian proses diskusi dan pengembangan ketajaman analisis siswa SMA  untuk mengamati berbagai kasus  dapat lebih berkembang.
Tingginya indeks untuk proses pembelajaran ini paralel dengan nilai indeks metode evaluasi belajar yang cukup baik.  Artinya proses pembelajaran di sekolah SMA sudah berjalan baik.   Setelah indeks kepuasan untuk metode pembelajaran tersebut, indeks fasilitas sekolah,kinerja guru dan etika pelayanan juga cukup baik. Aspek-aspek ini tentunya menjadi sangat penting bagi pengembangan proses pembelajaran di sekolah. Cukup tingginya indeks kepuasan untuk etika pelayanan ini sangat positif dalam mengembangkan mentalitas dan kepribadian anak. Usia anak SMA adalah usia yang sangat rentan terhadap pengaruh lingkungan pergaulan sehingga persoalan pengembangan etika pelayanan dan juga budi pekerti di sekolah SMA perlu menjadi perhatian. Untuk kepuasan layanan pendidikan SMA ini angka kategori terendah adalah tata kelola sekolah dan angkanya berbeda cukup jauh dengan angka indeks yang lain. Rendahnya tata kelola ini menunjukkan bahwa ada persoalan dalam proses komunikasi dan informasi antara pihak sekolah, pihak siswa dan pihak orang tua siswa.
Untuk indeks kepuasan layanan pendidikan SMK menunjukkan bahwa indeks kepuasan tertinggi adalah pada etika pelayanan sebesar 0,75, metode pembelajaran 0,73, fasilitas sekolah 0,72, metode evaluasi belajar 0,65, kinerja guru  0,62 dan tata kelola sekolah 0,62. Indeks kepuasan tertinggi untuk etika pelayanan ini sama dengan indeks kepuasan untuk siswa SD dan siswa SMP. Dengan menekankan pada lulusan yang siap pakai (siap kerja) maka tingginya indeks untuk aspek ini dikarenakan pihak sekolah mungkin menempatkan pentingnya etika pelayanan sebagai bekal kerja bagi mereka. Dengan demikian, setelah memasuki dunia kerja  para siswa diharapkan mampu membiasakan tentang kebiasaan menjalankan etika pelayanan ini. Setelah indeks kepuasan untuk etika pelayanan, indeks metode pembelajaran, fasilitas sekolah juga cukup baik. Tingginya angka indeks untuk aspek ini dimungkinkan karena di tingkat SMK metode pembelajaran yang baik dan fasilitas sekolah yang lengkap  akan mendukung bagi terwujudnya lulusan SMK yang siap pakai kerja.  Meskipun perbedaan tidak terlalu mencolok akan tetapi angka indeks untuk metode pembelajaran dan fasilitas sekolah tidak diikiti oleh indeks untuk evaluasi belajar, kinerja guru dan tata kelola sekolah.  Padahal indeks untuk kepusan kinerja guru sangat penting untuk mendukung terwujudnya lulusan SMK yang siap pakai.


Indeks Menurut Indikator Kepuasan Siswa

Metode pembelajaran merupakan salah satu indikator penting dalam menilai kepuasan layanan pendidikan. Efektif tidaknya proses pembelajaran di sekolah sangat tergantung pada ketepatan metode pembelajaran yang diterapkan oleh para guru. Dengan penyampaian metode pembelajaran yang benar akan memberikan kemudahan pada siswa dalam memahami setiap pelajaran.
Metode pembelajaran pada layanan pendidikan SMA memiliki indeks kepuasan paling tinggi dengan skor (0,82) diikuti SD (0,76) serta SMP dan SMK memiliki skor yang sama (0,73). Meskipun indeks kepuasan dalam metode pembelajaran rata-rata dianggap cukup memuaskan, namun beberapa hal masih perlu mendapatkan perhatian. Sebagaimana telah ditetapkan dalam standar nasional pendidikan, Proses pembelajaran perlu dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, memberi ruang untuk melakukan prakarsa, kreativitas dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik dan psikologis peserta didik. (pasal 19).
Oleh karena itu untuk meningkatkan kepuasan masyarakat terhadap layanan pendidikan para guru dituntut mampu menyampaiakan materi pelajaran secara efektif, guru  perlu menciptakan suasana belajar yang menyenangkan agar para siswa lebih mudah dalam memahami materi pelajaran, para guru perlu memberikan bahan bacaan yang sesuai dengan isi dan materi pelajaran yang diajarkan serta membiasakan para siswa berdiskusi/tanya jawab untuk mendalami materi yang telah diajarkan.
Metode evaluasi belajar juga merupakan indikator yang ikut menentukan dalam menilai kepuasan layanan pendidikan. Evaluasi pembelajaran merupakan instrument penting guna mengontrol kemampuan siswa dalam mencerna setiap pelajaran yang disampaikan oleh para guru di sekolah, serta sekaligus dapat mengontrol para guru  sejauhmana materi yang telah diajarkan dapat diterima oleh  para siswa.  Metode evaluasi dapat dilakukan dengan berbagai cara baik dengan pemberian soal-soal ulangan harian maupun dengan melakukan try out serta ujian akhir sekolah.
Dari data indeks tersebut, tampak bahwa dalam pelaksanaan evaluasi belajar secara umum siswa masih memiliki kesulitan dalam memahami soal-soal yang diberikan oleh para guru untuk setiap pelajaran, keluhan tersebut banyak dialami oleh para siswa terutama pada  jenjang pendidikan SMK, karena selama ini evaluasi yang dilakukan lebih banyak mengacu pada materi untuk  SMU yang standar kompetensinya sangat berbeda dengan SMK. oleh karena itu untuk meningkatkan kepuasan layanan pendidikan dalam hal evaluasi belajar ke depan perlu dipertimbangkan adanya keseimbangan bobot materi evaluasi yang disesuaikan dengan standar kompetensi pada masing-masing jenjang pendidikan.
Kualitas layanan pendidikan  sangat ditentukan oleh sejauhmana kemampuan guru dalam menyampaikan materi setiap mata pelajaran .  Oleh karena itu sesuai dengan standar pendidik, sebagai agen pembelajaran guru tidak cukup dengan memiliki kualifikasi akademik yang berupa ijazah dan/atau sertifikat keahlian yang relevan,  tetapi juga perlu didukung oleh kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional dan sosial yang memadai. (pasal 28).
Indeks kepuasan siswa terhadap kinerja guru pada setiap jenjang pendidikan berkisar antara skor 0,62 s/d 0,75. Indeks pada sekolah SMU memiliki nilai paling tinggi sebesar 0,75 dan terendah pada level pendidikan SMK (0,62). Sedangkan pada sekolah SD dan SMP memiliki indeks sama sebesar 0,71. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa secara umum di sekolah pada setiap level layanan pendidikan kinerja guru masih dianggap belum memuaskan pengguna/siswa. Oleh karena itu untuk meningkatkan kepuasan layanan pendidikan Guru dituntut untuk lebih menguasai materi yang diajarkan kepada siswa, serta mampu menciptakan suasana yang menyenangkan bagi para siswa dalam belajar .Suasana tersebut dapat diciptakan melalui berbagai metode/teknik mengajar secara kreatif dan bervariasi, serta menggunakan berbagai media termasuk memanfaatkan teknologi informasi maupun dengan memanfaatkan berbagai sumber bacaan/referensi yang memadai.  Membiasakan diskusi dan tanya jawab dengan para siswa merupakan kegiatan penting yang perlu dilakukan oleh guru dalam mengembangkan kreativitas berfikir para siswa. Untuk mendukung kemampuan dan profesionalisme guru tersebut  perlu didukung oleh fasilitas yang memadai baik menyangkut kompensasi/penghargaan yang sesuai kepada guru, peningkatan kualifikasi akademik melalui beasiswa, pelatihan-pelatihan, seminar workshop metode pembejaran serta didukung oleh fasilitas yang memadai seperti buku perpustakaan, sarana teknologi informasi, dan sebagainya.
Kepuasan layanan pendidikan juga sangat tergantung pada ketersediaan fasilitas (sarana dan prasarana ) yang dimiliki sekolah, baik secara kuantitas maupun secara kualitas. Standar sarana dan prasarana yang yang perlu dipenuhi oleh setiap sekolah berdasarkan PP No 19 tahun 2005, meliputi; (1) jenis peralatan laboratorium IPA, lab. Bahasa, lab. Komputer; (2) standar jumlah peralatan menurut rasio minimal jumlah alat per peserta didik; (3) standar jumlah buku dan judul buku di perpustakaan; (4) kalayakan isi buku teks pelajaran; (5) kelayakan lahan untuk bangunan dan pertamanan; (6) standar lahan (luas klas/ruang) dalam rasio luas lahan per peserta didik; (7) standar letak lahan dengan mempertimbangkan kemudahan akses bagi peserta didik untuk menjangkaunya. (pasal 44).
Penilaian siswa tentang kepuasan layanan pendidikan terhadap fasilitas sekolah/sarana dan prasarana pembelajaran baik secara kuantitas maupun kualitas yang meliputi sarana pendidikan seperti ruang kelas dan kelengkapannya, ketercukupan sarana laboratorium, fasilitas penunjang kegiatan ekstrakulikuler serta ruang perpustakaan yang ada di sekolah. Nilai indeks kepuasan siswa terhadap fasilitas sekolah berkisar antara 0,61 s/d 0,88. Fasilitas di sekolah SMP memiliki indeks yang paling rendah (0,61) sedangkan pada jenjang pendidikan SD indeks fasilitas sekolah menduduki peringkat paling tinggi dengan indeks (0,88). Tingginya skor kepuasan terhadap Fasilitas pendidikan pada jenjang SD dapat dipahami karena umumnya tuntutan siswa SD belum begitu banyak sesuai dengan apa yang diketahuinya . Sementara pada jenjang  SMP fasilitas pendidikan yang dimiliki oleh sekolah masih dirasa kurang memadai sebagaimana kebutuhan yang diinginkan para siswa terutama menyangkut sarana laboratorium .
Sarana dan prasarana pendukung pembelajaran yang perlu diperhatikan oleh setiap sekolah tidak hanya diukur secara kuantitas yakni ketercukupan sarana pendidikan seperti ruang kelas dan kelengkapannya, ketercukupan sarana laboratorium, fasilitas penunjang kegiatan ekstrakulikuler (kesenian, Olah raga dan keagamaan) serta ruang perpustakaan dan koleksi bukunya yang memadai, tetapi juga perlu diperhatikan kualitasnya yakni menyangkut kenyamanan lingkungan sekolah, kebersihan lingkungan sekolah, penataan ruang (ruang belajar & perpustakaan). perawatan, kemudahan akses serta kenyamanan bagi siswa dalam mendukung pembelajaran.
Tata kelola merupakan bagian penting dalam penilaian kepuasan pelayanan publik. Sekolah sebagai intistusi formal yang memberikan pelayanan pendidikan dalam pengelolaanya perlu mengedepankan  prinsip-prinsip pelayanan  partisipasif, terbuka, responsif dan akuntabel. Sebagaimana juga telah diatur dalam PP No 19 pasal 49 yang menekankan pentingnya  Standar pengelolaan dengan mengimplementasikan manajemen pendidikan berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan adanya; kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntablitas.
Penilaian kepuasan terhadap layanan pendidikan dari parameter tata kelola dapat dilihat dari seberapa cepat para pengelola sekolah baik kepala sekolah, wali kelas maupun para guru mata pelajaran dalam memberikan respon terhadap keluhan-keluhan yang disampaikan para siswa di sekolah. Dan seberapa sering para siswa diajak berdialog dengan pihak sekolah untuk pengambilan keputusan di sekolah baik yang berkaitan dengan persoalan prestasi belajar maupun sumbangan yang akan diebankan kepada para siswa/orang tua di sekolah.
dalam hal tata kelola sekolah pada berbagai jenjang pendidikan menunjukkan indeks yang belum begitu memuaskan dengan rank angka indeks antara 0,58 – 0,76. Tata kelola pada SMU memiliki indeks yang paling rendah sedangkan SD memiliki indeks paling tinggi dalam hal tata sekolah. Hal ini sangat mungkin dipengaruhi oleh latar belakang pengetahuan yang dimiliki oleh masing-masing siswa. Tuntutan  siswa SMU maupun SMK terhadap tata kelola sekolah terhadap isyu-isyu transparansi, akuntabilitas dan responsivitas dalam pelayanan lebih tinggi dari pada siswa SD maupun SMP, seiring dengan meningkatkatnya wawasan, pengetahuan dan kesadaran para siswa dalam proses demokrasi yang telah banyak diaungkap dalam berbagai media .
Oleh karena itu untuk lebih  meningkatkan kepuasan dalam pelayanan pendidikan pihak sekolah perlu lebih transparan dan memberikan kemudahan akses bagi siswa untuk memperoleh informasi baik menyangkut keuangan sekolah (RAPBS) , beasiswa, pemanfaatan dana/ sumbangan-sumbangan maupun berbagai kebijakan lainnya yang akan memberi dampak pada siswa. Sekolah juga perlu bersikap lebih responsive terhadap setiap keluhan yang disampaikan siswa, respon bisa diberikan oleh siapa saja yang terlibat dalam pelayanan baik kepala sekolah, wali kelas, guru pelajaran, guru BK maupun para staf tata usaha.  Selain itu sekolah juga dituntut  lebih partisipasif dalam setiap proses pengambilan keputusan di sekolah melalui pertemuan-pertemuan, berdialog untuk   menampung aspirasi siswa maupun mencari solusi terhadap persoalan-persoalan yang ditemui di sekolah. Dengan adanya proses komunikasi yang baik juga sekaligus dapat memelihara kepercayaan masyarakat terhadap pihak sekolah.
Etika pelayanan merupakan indicator penting dalam penilaian kepuasan layanan. Etika pelayanan dapat ditunjukkan dengan adanya keadilan perlakuan, yakni apakah guru telah memberikan perlakuan yang adil terhadap semua siswa, terkait hak-hak dan kewajiban siswa, seperti teguran, pujian, pemberian kesempatan berkembang, hukuman, dll. Di samping itu juga dapat ditunjukkan dengan adanya kerahaman dan kesopanan, yakni bagaimana persepsi siswa terhadap sikap guru dengan siswa, apakah guru dipandang ramah, sopan, dan menghargai siswa atau bersikap arogan, sewenang-wenang, dan sebagainya. Penilaian terhadap etika dalam pelayanan pendidikan dalam hal ini ditunjukkan dengan bagaimana para guru di sekolah mengajarkan sikap dan prilaku untuk memberikan keteladanan bagi pembentukan budi pekerti siswa, serta bagaimana sikap dan perlakuan guru terhadap para siswa disekolah.
Secara umum dengan melihat angka indeks kepuasan mengenai etika pelayanan pada semua jenjang pendidikan sudah dianggap memuaskan, terutama pada jenjang pendidikan SD dan SMP. Hal ini menunjukkan bahwa para guru di sekolah masih terus selalu menanamkan nilai-nilai budi pekerti kepada para siswa melalui tradisi salaman pagi, do’a bersama, maupun mengajarkan etika pergaulan, sikap hormat maupun tentang etika dalam berpakaian.
Di samping itu dalam hal etika pelayanan para siswa juga merasakan bahwa keteladanan para guru juga telah ditunjukkan dengan bersikap tidak diskriminatif dalam pelayanan terhadap para siswa baik karena latar belakang status sosialnya, jenis kelamin, perbedaan agama, asal daerah maupun berdasarkan prestasi siswa. Hal tersebut menunjukkan bahwa para guru telah cukup adil dalam memberikan pelayanan terhadap siswa.


Kesimpulan

Secara umum, tingkat kepuasan siswa terhadap metode pembelajaran sangat baik. Hal ini menunjukkan bahwa siswa –siswa sudah merasakan kepuasan terkait dengan metode pembelajaran yang disampaikan di sekolah. Paling tingginya indeks kepuasan untuk siswa SMA dikarenakan proses pembelajaran di SMA yang lebih menekankan pada proses diskusi di kelas dan partisipasi aktif siswa sehingga siswa SMA tersebut merasa puas dan menikmati pelajaran yang diberikan oleh guru-guru mereka. Dengan model ini maka pembelajaran yang dilakukan menjadi tidak membosankan.
          Tingkat kepuasan siswa terhadap metode evaluasi belajar memperlihatkan bahwa angka indeks kepuasan tertinggi adalah siswa SMP, kemudian baru disusul dengan angka indeks untuk siswa SD dan siswa SMA, kemudian yang terakhir siswa SMK. Angka ini menunjukkan  bahwa untuk sekolah-sekolah umum sudah menerapkan evaluasi belajar secara baik. Ini memang wajar mengingat di sekolah-sekolah umum penekanan terhadap aspek kognitif siswa lebih utama jika dibandingkan dengan siswa-siswa di sekolah kejuruan yang lebih menenkankan pengembangan skill dan ketrampilan siswa.
          Tingkat kepuasan siswa terhadap kinerja guru tertinggi ada siswa SMA, dan yang terendah pada siswa SMK. Tingginya indeks kepuasan terhadap kinerja guru untuk siswa SMA ini paralel dengan tingginya indeks siswa SMA untuk metode pembelajaran. Penempatan guru di SMA yang lebih menekankan pada kualifikasi dan kompetensi dapat menjadi indikator yang menyebabkan angka indeks untuk kepuasan terhadap kinerja guru ini cukup baik.  Dengan kualifikasi dan kompetensi yang dimilikinya memungkikan para guru SMA menerapkan metode pembelajaran yang menyenangkan dan tidak membosankan bagi para siswa SMA. Perolehan indeks kepuasan siswa SMA ini berbanding terbalik dengan indeks kepuasan terhadap siswa di SMK. Paling rendahnya indeks kepuasan untuk siswa SMK ini menunjukkan bahwa kualifikasi dan kompetensi yang dimiliki guru SMK belum memenuhi kriteria yang diinginkan oleh siswa. Tingkat harapan (ekspektasi) siswa SMK pada kemampuan guru yang lebih menguasai materi-materi pelajaran, masih menjadi isu peting bagi para siswa SMK.
          Tingkat kepuasan siswa terhadap fasilitas sekolah memperlihatkan bahwa kepuasaan tertinggi dirasakan oleh siswa Sekolah Dasar sebesar, kemudian disusul siswa SMA, siswa SMK dan siswa SMP. Data ini menunjukkan bahwa keberadaan fasilitas sekolah untuk anak siswa SD, SMA dan SMK  dirasakan sudah cukup representatif guna mendukung proses pembelajaran di sekolah.  Fasilitas dan prasarana yang ada di sekolah, laboratorium, kebersihan, prasarana perpusataakan dan ragam kegiatan ekstrakurikuler dipandang sudah   memuaskan siswa untuk mendukung proses pembelajaran.  Sementara untuk SMP angka indeks menunjukkan angka yang terendah dibandingkan yang lainnya. Ini tentunya perlu menjadi perhatian untuk pengembangan fasilitas sekolah di SMP.
          Tingkat kepuasan siswa terhadap tata kelola sekolah menunjukkan bahwa untuk indeks kepuasan tertinggi adalah siswa SD, kemudian siswa SMP, dan siswa SMA yang terendah. Kondisi ini menunjukkan bahwa proses penyampaian komunikasi, informasi dan partisipasi untuk siswa SMA dalam proses pengambilan keputusan di sekolah masih menjadi isu penting bagi penerapan praktik good governance di sekolah.
Tingkat kepuasan terhadap etika pelayanan menunjukkan angka yang tinggi dirasakan oleh siswa SD, kemudian disusul siswa SMP, SMK dan SMA.  Secara umum indeks kepusan siswa untuk etika pelayanan sangat baik. Artinya sekolah sudah mengembangkan etika pelayanan yang baik seperti perilaku guru yang dapat menjadi teladan bagi siswa maupun perilaku guru yang tidak diskriminatif diantara siswa-siswanya. Indeks kepuasaan untuk SD terlihat sangat tinggi dan hampir mendekati angka 1 menunjukkan bahwa proses pelayanan yang beretika, tidak diskriminatif sudah berkembangan cukup baik di tingkat SD. Ini menjadi sangat baik dalam upaya penanaman budi pekerti anak sejak usia dini. Dengan menanamkan budi pekerti sejak dini berarti memberikan bekal yang cukup dalam proses tumbuh kembang anak. Dengan demikian diharapkan akan tercapai tujuan dan esensi pendidikan yang sebenarnya yaitu tidak sekedar memberikan bekal ilmu semata akan tetapi juga bekal aklak dan budi pekerti mereka.  


Rekomendasi kebijakan

Berdasarkan beberapa temuan penting di atas, hasil indeks kepuasan masyarakat bidang pendidikan ini perlu ditindak lanjuti oleh Pemerintah Kota, Dinas Pendidikan, dan pihak Sekolah, melalui beberapa langkah kebijakan berikut:

1)    Pihak sekolah didorong untuk dapat mengembangkan instrument dan teknik pengukuran indeks kepuasan layanan pendidikan secara lebih mandiri dan berkelanjutan. Instrumen (kuesioner) dan metode yang ada perlu disesuaikan dengan situasi dan kondisi layanan pendidikan di tiap-tiap sekolah. Oleh karena itu, perlu dibentuk Tim Perumus Indeks Kepuasan di tiap-tiap sekolah untuk melaksanakan pengukuran indeks kepuasan secara berkelanjutan.
2)    Pihak sekolah hendaknya mempergunakan hasil indeks kepuasan siswa sebagai cara untuk lebih mengembangkan tata kelola sekolah yang baik (good governance), dalam bentuk lebih melibatkan partisipasi siswa dalam proses pengambilan keputusan.
3)    Pihak Dinas Pendidikan dapat menjadikan nilai pencapaian indeks kepuasan ini sebagai barometer acuan (benchmarking) untuk meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan di kota sekolah di masa mendatang. Dengan demikian, sekolah akan memiliki metode evaluasi penjamiman mutu pendidikan yang lebih baik.
4)    Hasil indeks kepuasan siswa perlu disosialisasikan kepada orang tua siswa, Komite Sekolah dan masyarakat sebagai bentuk dari pertanggung jawaban (akuntabilitas) sekolah kepada para pemangku kepentingan sektor pendidikan.
5)    Pengukuran indeks kepuasan layanan pendidikan di masa mendatang perlu dilakukan pula terhadap pihak penyelenggara layanan, yakni guru dan pihak manajemen sekolah. Hal ini agar proses evaluasi dan penilaian kinerja pelayanan pendidikan menjadi lebih berimbang dan dari berbagai sudut pandang kepentingan penyelenggara layanan.









[1] Tulisan ini disusun dari Laporan Penelitian Indeks Kepuasan Masyarakat Bidang Pendidikan Kota Yogyakarta Tahun 2009. Kajian ini merupakan kerjasama antara Bagian Organisasi, Pemerintah Kota Yogyakarta dengan Lembaga Penelitian & Pengabdian Masyarakat (LPPM) UGM, 2009.
[2] Staf LPPM UGM
[3] Theo AJ. Toonen & Jos CN Raadschelders, Backgroundpaper for the Presentation on Public Sector Reform in Western Europe, Conference on Comparative Civil Service Systems, School of Public and Environmental Affairs (SPEA), Indiana University, Bloomington (IN), april 5 - 8, 1997. This paper is produced in the context of a comparative research project on public sector reform in Central, Eastern and in Western Europe (dir: Joachim Jens Hesse, Oxford/Berlin)

[4] Denhardt, Janet V. & Robert B. Denhardt. 2003. The New Public Service,  M.E. Sharpe,Inc., New York.
[5] Lihat dalam Denhardt & Denhardt, 2003:32.