REKONSTRUKSI KULTURAL BIROKRASI UNTUK KESEJAHTERAAN RAKYAT
Bambang Wicaksono[1]
Abstraksi
Desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan telah membawa implikasi luas pada perbaikan kehidupan politik. Demokrasi dan desentralisasi diharapkan menjadi pintu gerbang untuk mengantarkan masyarakat Indonesia yang sejahtera di segala aspek kehidupan. Melalui desentralisasi, birokrasi diharapkan mampu mengembangkan mindset dan kultur yang lebih humanis sehingga perumusan kebijakan menjadi lebih memihak pada kesejahteraan masyarakat. Reformasi birokrasi juga merupakan momentum tepat bagi birokrasi untuk melakukan pembenahan mendasar (rekonstruksi) terhadap tatanan kebudayaan yang melekat pada sistem organisasi. Rekonstruksi kebudayaan birokrasi akan menyentuh dimensi paling mendasar yakni perbaikan kinerja pelayanan publik yang bisa berdampak pada perbaikan kesejahteraan masyarakat di semua aspek kehidupan.
Key Words : Decentralization, Bureaucratic reform, Mindset and culture reconstruction, Public service delivery.
Pendahuluan
Reformasi politik tahun 1998 tidak saja memberikan harapan pada terjadinya perubahan tatanan politik nasional, namun diharapkan dapat pula membawa perubahan pada sistem birokrasi nasional. Selama lebih dari 32 tahun masa pemerintahan Orde Baru, birokrasi begitu memegang peran dan otoritas yang begitu besar dalam proses pengambilan kebijakan publik. Konstruksi tata hubungan antara masyarakat dengan pemerintah, baik di tingkat nasional maupun lokal, sangat bergantung pada intervensi birokrasi di dalamnya. Oleh karena itu, harapan akan adanya perubahan struktur dan kultur birokrasi pemerintah yang semakin profesional, memiliki landasan etika moral yang tinggi, dan mengabdi untuk kesejahteraan masyarakat luas menjadi suatu isu krusial di Indonesia.
Perubahan paradigma birokrasi, dari paradigma “mengatur” menjadi paradigma “melayani” dalam penyelenggaraan pelayanan publik, memerlukan adanya suatu upaya rekonstruksi kultur dan manajemen birokrasi. Kultur dan manajemen dalam birokrasi harus mengarah pada pencapaian sosok birokrasi yang profesional, efisien, efektif, dan responsif dalam penyelenggraan pelayanan publik. Kultur birokrasi yang selama masa Orde Baru menganut kultur kekuasaan, telah membawa implikasi pada adanya ketimpangan dalam konteks hubungan Negara-Masyarakat yang seharusnya berlandaskan pada prinsip keadilan dan kesetaraan. Birokrasi menjadi memiliki posisi yang begitu kuat dan dominan dalam proses pengambilan kebijakan-kebijakan strategis di masyarakat. Konstruksi struktur dan kultur birokrasi di Indonesia tersebut sangat tidak ideal dan jauh dari nilai-nilai birokrasi modern yang profesional, transparan, efisien, dan efektif sebagai salah satu dasar bagi pengembangan tata-pemerintahan yang ideal di Indonesia.
Demikian pula adanya UU Nomor 22/1999 yang diperbaharui dengan UU No.32/2004, menandai dimulainya kebijakan otonomi daerah yang membawa perubahan fundamental dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Kebijakan ini telah membawa implikasi luas pada berbagai dimensi penyelenggaraan pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah. Menurut Pratikno (1999), dengan adanya otonomi daerah, sebenarnya secara politik telah terjadi pergeseran lokus politik secara mendasar, yakni dari birokrasi ke politisi. Apabila pada masa Orde Baru, peran sentral dalam pengambilan kebijakan publik lebih banyak didominasi oleh birokrasi, maka pada era otonomi daerah berlaku sebaliknya. Otonomi daerah telah memberikan penguatan secara politik kepada para politisi atau anggota DPR/D. Peran dan kedudukan DPR/D dalam pengambilan kebijakan menjadi jauh lebih kuat sehingga birokrasi tidak dapat lagi mendominasi proses pengambilan keputusan.
Apabila birokrasi tidak dapat secara cepat merespon berbagai isu yang mencuat di atas, dikhawatirkan akan dapat mempengaruhi perwujudan tata-pemerintahan yang baik di daerah. Suatu tata-pemerintahan yang baik akan dapat tercipta apabila para pemangku kepentingan di daerah dengan penuh kesadaran mengembangkan nilai-nilai transparansi, partisipasi, penegakan hukum, keadilan, serta demokratisasi sehingga menjamin adanya mekanisme kontrol publik atas penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Pengembangan tata-pemerintahan yang baik akan menciptakan sistem birokrasi dan penyelenggaraan pelayanan publik yang efisien, transparan, responsif, dan publik akuntabel. Upaya ini dapat diwukudkan apabila birokrasi memang dipersiapkan dan dilakukan penataan struktur dan kultur pelayanan dengan berbasis pada manajemen pelayanan publik yang modern.
Namun, implementasi otonomi daerah belum memperlihatkan adanya konsekuensi perubahan secara mendasar pada birokrasi pemerintah. Kebijakan otonomi daerah yang diharapkan dapat memberikan pengalihan kewenangan yang lebih besar dari birokrasi kepada publik, ternyata masih memberikan peran dan kewenangan yang terlalu besar pada birokrasi. Birokrasi masih banyak membuat kebijakan yang tidak memihak kepada kepentingan publik. Kebijakan dalam bentuk Perda yang semata-mata berorientasi pada pendapatan daerah, maupun besaran alokasi dana untuk memenuhi belanja kebutuhan rutin birokrasi, merupakan salah satu bukti kuat adanya kecenderungan tersebut.
Birokrasi masih menjadi salah satu lembaga yang memiliki kekuatan politik sangat besar untuk mengontrol berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sebaliknya, warga masyarakat masih dalam posisi lemah untuk secara efektif mampu mengontrol perilaku pejabat birokrasi. Hal tersebut secara mudah dapat terlihat pada mekanisme pengambilan kebijakan APBD yang dilakukan secara tertutup di dalam rapat Panitia Anggaran sehingga publik tidak memiliki akses untuk mengontrol alokasi anggaran yang secara langsung dapat merugikan kepentingan publik, seperti peningkatan gaji/insentif anggota DPRD, peningkatan anggaran belanja pegawai, pembelian kendaraan dinas Bupati/Walikota, minimnya alokasi anggaran untuk program pendidikan, kesehatan, pengentasan kemiskinan, dan sebagainya.
Selama otonomi daerah berlangsung, belum terlihat adanya perubahan secara sistematis pada birokrasi menyangkut pengembangan nilai-nilai tata-pemerintahan yang baik. Birokrasi belum sepenuhnya mengembangkan konsep tentang profesionalisme, transparansi, akuntabilitas, efisiensi, efektivitas nilai-nilai moral dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Banyaknya fenomena KKN di lingkungan birokrasi pemerintah, memperlihatkan tidak adanya kontrol publik secara efektif terhadap lembaga birokrasi pemerintah. Disamping itu, birokrasi dan pejabat di dalamnya cenderung masih mengembangkan paradigma ketertutupan dan logika kekuasaan dalam menjalankan fungsinya, seperti tidak adanya publikasi mengenai anggaran belanja pegawai secara terbuka dan terperinci kepada masyarakat, rente birokrasi dalam pemberian pelayanan publik, mekanisme kritik yang tidak berjalan efektif, serta tidak mengembangkan kriteria kinerja sebagai basis dalam menilai kompetensi pejabat atau pegawai di lingkungan birokrasi.
Pelayanan Publik dan Keseriusan Birokrasi
Berpijak pada realitas di atas, birokrasi pemerintah merupakan salah satu bagian dari permasalahan publik yang penting untuk mendapat perhatian secara serius apabila tata-pemerintahan yang baik memang hendak dikembangkan pada masa-masa mendatang. Salah satu aspek dalam kinerja birokrasi pemerintah di Indonesia yang masih harus mendapatkan atensi besar adalah menyangkut penyelenggaraan pelayanan publik yang belum berbasis pada nilai-nilai profesionalisme, kompetensi, etika pelayanan, efisiensi, dan transparansi. Urgensi pemberian pelayanan publik yang profesional, etis, efisien, transparan, dan akuntabel menjadi bagian penting dalam menopang dinamika kehidupan masyarakat modern yang semakin kritis dan menuntut adanya pelayanan publik yang profesional dari birokrasi pemerintah.
Pada masa otonomi daerah, kinerja penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh birokrasi belum memperlihatkan hasil yang optimal. Berdasarkan hasil penelitian GDS (2002)[2], menurut persepsi rumah tangga, kepastian biaya dan waktu pelayanan masih menjadi persoalan krusial bagi warga masyarakat (lihat, Gambar 1). Munculnya berbagai keluhan, tuntutan dan kekecewaan sebagian besar masyarakat yang pernah berurusan dengan birokrasi pemerintah, secara akumulatif sebenarnya dapat memperlihatkan adanya persoalan di tubuh birokrasi yang telah mencapai titik kritis untuk segera direspon format solusinya. Manajemen pelayanan publik yang seharusnya dikembangkan dalam bentuk pelayanan yang mengedepankan pada visi pelayanan yang berpihak pada customer-driven, secara faktual belum banyak dilakukan perubahan secara cukup mendasar di lingkungan birokrasi pemerintah. Orientasi pelayanan dari sebagian besar aparatur birokrasi pemerintah masih cenderung diarahkan untuk kepentingan birokrasi atau pejabat birokrasi, bukannya pada peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat (Dwiyanto, dkk., 2001).
Masyarakat yang sedang tumbuh ke arah masyarakat madani (civil society) menuntut adanya peran birokrasi pemerintah yang lebih adaptif terhadap penguatan hak-hak publik dalam pemberian pelayanan secara lebih luas dan berimbang. Oleh karena itu, pada masa-masa mendatang, birokrasi pemerintah harus mampu menjadi birokrasi yang kompetitif untuk melakukan reformasi manajemen pelayanan (Turner & Hulme, 1997) sehingga dapat memberikan performansi pelayanan yang sesuai dengan harapan dan kebutuhan publik atau pengguna layanan. Perubahan ke arah birokrasi yang memiliki corak kultur pelayanan, membawa implikasi besar terhadap perubahan manajemen pelayanan dalam birokrasi. Segenap jajaran aparatur birokrasi dituntut untuk dapat merubah mind-set birokrasi dari yang korup, kolutif, dan nepotisme, menjadi aparatur birokrasi yang responsif, profesional, bersandar pada etika moral yang tinggi, dan publik akuntabel.
Tentu saja tuntutan perubahan mind-set dalam birokrasi di atas, dalam implementasinya banyak menyebabkan terjadinya berbagai bentuk benturan kepentingan dalam birokrasi. Sebagain kelompok dalam birokrasi tentu masih menganut paradigma lama yang akan berhadapan dengan sebagian kelompok dalam birokrasi yang mencoba menerapkan paradigam baru yang lebih berorientasi pada kepentingan publik. Konflik kepentingan antara warga dengan birokrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik, juga masih seringkali dijumpai di era otonomi daerah. Hal ini setidaknya ditunjukkan pada pengakuan salah seorang warga masyarakat yang sedang mengurus akta tanah atas kinerja aparat birokrasi yang masih korup pemberian pelayanan publik di salah satu Kabupaten di Jogjakarta berikut:
“ Saya pernah mengalami kekecewaan saat mengurus akta tanah di BPN, menurut petugas waktu selesainya akta tanah saya adalah 3 bulan. Namun Saya tunggu tidak pernah ada berita yang jelas, petugas hanya janji-janji melulu, saya harus bolak-balik 15 kali ke BPN. Saya mendapat informasi dari sesama warga pemohon, bahwa untuk mempercepat urusan akta tanah petugasnya harus diberi uang amplop. Akhirnya saya beri uang Rp. 20 ribu, dan ternyata lansung diproses.” (GDS, 2002).
Masih buruknya kualitas penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia (Dwiyanto, 2002), menunjukkan bahwa esensi dari kebijakan otonomi daerah masih belum dapat dipahami secara benar oleh banyak pejabat birokrasi. Penyelenggaraan pelayanan publik yang masih diskriminatif, terjadinya rente birokrasi, suap, pungutan liar, tidak adanya kepastian pelayanan, arogansi kekuasaan, serta masih lemahnya posisi tawar warga masyarakat terhadap pejabat birokrasi, menunjukkan bahwa mind-set birokrasi dalam meberikan pelayanan masih belum banyak mengalami perubahan seperti yang diharapkan.
Selama proses implementasi kebijakan otonomi daerah birokrasi pemerintah sedang mengalami masa adaptasi menuju pada perubahan yang sangat mendasar, baik secara struktur maupun kultur kelembagaannya sebagai sebuah institusi. Dalam proses menuju transformasi tersebut, birokrasi dipengaruhi oleh berbagai variabel internal yang memegang peran besar dalam mewujudkan reformasi birokrasi. Komitmen para pejabat birokrasi, baik di pusat maupun di daerah dalam mengaktualisasikan prinsip-prinsip dasar tata-pemerintahan yang baik masih perlu diuji secara konkret. Pada prinsipnya, kapasitas kelembagaan birokrasi untuk mentransformasikan nilai-nilai baru seperti transparansi, akuntabilitas, keadilan, penegakan hukum, serta reformasi manajemen pelayanan publik, akan berkorelasi positif dengan perbaikan kinerja birokrasi pada masa mendatang.
Oleh karena itu selama masa otonomi daerah ini berlangsung, maka “krisis” akan dialami oleh birokrasi pemerintah. Keberhasilan dalam melakukan transformasi nilai-nilai kelembagaan baru akan memberikan sinyal positif pada keberhasilan birokrasi dalam mengatasi “krisis” dalam diri birokrasi. Sebaliknya, kegagalan birokrasi dalam merespon krisis dalam bentuk melakukan perubahan paradigma dasar dalam birokrasi, akan membawa konsekuensi pada kegagalan dalam penataan ulang kelembagaan birokrasi pemerintah. Memang benar, bahwa selama otonomi daerah berlangsung pengalihan kewenangan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah tidak mengakibatkan gejolak atau kekacauan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Namun, kinerja pelayanan publik yang masih buruk akan menjadi titik sentral perhatian publik yang berpeluang menurunkan citra lembaga birokrasi pemerintah.
Apabila Pemerintah tidak segera memikirkan langkah-langkah strategis untuk mereformasi birokrasi, tidak menutup kemungkinan memunculkan ‘kamuflase birokrasi’ yakni sebuah tipikal birokrasi yang hidup di jaman berbeda namun tetap menunjukkan watak dasarnya yang korup dan lemah dari sisi akuntabilitas kepada publik. Pergantian masa hanya sekedar menjadi pergantian waktu dan rezim penguasa. Pergantian era tidak bisa dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai momentum untuk menata kinerja birokrasi bagi perwujudan kesejahteraan masyarakat. Indikasi ini sangat terlihat pada kebijakan anggaran pemerintah yang menunjukkan lemahnya visi birokrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Kebijakan anggaran daerah (APBD) masih mengalami ketimpangan yang cukup mencolok dimana alokasi anggaran untuk kebutuhan rutin birokrasi masih jauh lebih besar dibandingkan dengan anggaran untuk kebutuhan pelayanan publik.
Daya Saing Birokrasi: Suatu Wacana Baru
Wacana tentang tingkat daya saing birokrasi suatu negara saat ini sudah merupakan suatu isu aktual seiring dengan masuknya era globalisasi. Bahkan, pelayanan publik saat ini tidak terlepas pula dari adanya fenomena globalisasi. Di banyak negara berkembang, seperti Malaysia atau India telah mengadopsi berbagai pendekatan manajemen pelayanan publik yang modern, seperti paradigma “the New Public Service’, citizens’ charter, e-government, e-procurement, dan lain sebagainya (lihat dalam, Government of Malaysia, 1996). Era globalisasi ini menjadi tantangan baru bagi birokrasi di banyak negara untuk dapat bersaing dengan negara-negara lainnya agar tetap mampu memberikan pelayanan yang baik pada para calon investor. Bahkan iklim investasi di suatu negara, akan sangat tergantung pada kinerja pelayanan dari birokrasinya. Saat ini birokrasi di masing-masing negara dituntut untuk dapat memberikan kinerja pelayanan yang dapat menarik minat kalangan investor untuk menanamkan modalnya. Regulasi yang berkaitan dengan penciptaan stabilisasi politik, kebijakan ekonomi dan perpajakan yang menarik, serta efisiensi birokrasi dalam pemberian pelayanan kepada para investor, merupakan beberapa kebijakan yang telah ditempuh oleh banyak negara untuk menarik investor ke suatu negara (Cullen & Chushman, 2000). Birokrasi pemerintah dengan demikian memegang peran sangat penting dalam rangka meningkatkan daya saing suatu negara di mata investor. Birokrasi yang efisien dalam pemberian pelayanan akan membawa konsekuensi pula pada efisiensi biaya ekonomi yang harus dikeluarkan oleh adanya suatu kegiatan investasi di suatu negara.
Perkembangan isu global di atas tentu saja membawa pengaruh besar pada keberadaan birokrasi pemerintah dalam menjalankan fungsi penyelenggaraan pelayanan publik. Para pengusaha atau investor telah menuntut agar birokrasi lebih efisien dalam pemberian pelayanan yang berkaitan dengan berbagai kepentingan duinia usaha. Namun pada kenyataannya, merujuk pada laporan The World Competitiveness Yearbook tahun 1999 (Cullen & Cushman, 2000), Indonesia berada pada posisi ke-96 dari 100 negara yang dinilai paling menarik untuk menanamkan investasi di dunia. Bahkan dalam suatu Laporan Investasi Dunia yang dirilis oleh UNCTAD (United Nation Conference for Trade and Development) tahun 2003, peringkat investasi Indonesia berada pada urutan ke-138 dari 140 negara atau posisi Indonesia setara dengan Suriname (Jawa Pos, 5 September 2003).
Tentu saja kondisi tersebut tidak dapat dilepaskan dari masih tidak efisiennya kinerja birokrasi dalam turut serta menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi para calon investor. Begitu pula kemampuan birokrasi pemerintah dalam meningkatkan kinerja pelayanan dan profesionalisme sumber daya aparatur birokrasi masih tergolong rendah. Profesionalisme birokrasi yang mampu memberikan pelayanan yang efisien, juga masih jauh tertinggal apabila dibandingkan dengan negara-negara tetangga, seperti Thailand, Malaysia, Philipina, atau Singapura yang merupakan salah satu negara dengan birokrasi yang paling kompetitif di dunia bersama Canada dan Amerika Serikat.
Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa kemampuan birokrasi pemerintah untuk melakukan fungsi fasilitasi dalam mengelola berbagai potensi yang dimiliki oleh publik masih sangat terbatas. Kemampuan birokrasi pemerintah untuk memberikan kontribusi bagi peningkatkan daya saing nasional di antara negara-negara di dunia masih terlihat sangat rendah. Kinerja birokrasi dalam pemberian pelayanan yang berkaitan dengan perijinan dunia usaha misalnya, masih memperlihatkan tingkat profesionalitas yang rendah, seperti masih sering dijumpainya “uang pelicin”, diskriminasi pelayanan atas dasar hubungan pertemanan, ketidakpastian biaya, prosedur, dan waktu penyelesaian pelayanan (lihat, Boks 1). Kondisi di atas tentu saja membawa dampak pada kerugian dan kekecewaan masyarakat atau kalangan dunia usaha ketika berurusan dengan birokrasi. Bahkan pada proses rekrutmen pegawai birokrasi di daerah, nuansa KKN masih seringkali dijumpai, hal ini tentu saja sangat mempengaruhi kualitasdan kinerja birokrasi secara keseluruan.
Masih suburnya budaya korup di lingkungan birokrasi pelayanan tentu saja membawa implikasi buruk pada upaya pencapaian kultur pelayanan birokrasi yang profesional. Selama ini pesoalan KKN dalam birokrasi seolah-olah telah menjadi praktek kolusi yang turun temurun semenjak era birokrasi kerajaan, kolonial, dan masa Orde Baru. Bahkan pada era otonomi dan reformasi saat ini, persoalan KKN masih tetap menjadi isu utama dalam birokrasi di Indonesia. Pergantian kepemimpinan di tingkat pusat, maupun perubahan sistem birokrasi yang lebih desentralistik pada tingkat Kabupaten/Kota, juga tidak banyak membawa perubahan atau perbaikan terhadap upaya pemberantasan KKN. Fenomena KKN dalam birokrasi ini memang cenderung terus bertahan sebagai akibat adanya kultur masyarakat Indonesia yang relatif permisif terhadap praktek korupsi. Sebagai contoh, masyarakat pun dengan mudah dan tanpa beban melakukan penyuapan kepada petugas atau polisi di jalan raya. Berdasarkan temuan GDS (2002:99), bahkan terdapat sebagian warga masyarakat menganggap wajar dan tetap membayar ketika diminta “uang rokok” oleh aparat birokrasi. Terlepas apakah petugas juga menerimanya, namun budaya yang hidup di masyarakat tentang suap menyuap kepada petugas atau aparat pemerintah patut menjadi gambaran betapa kultur korup juga masih hidup dan mungkin dilanggengkan oleh sebagian masyarakat kita.
Sumber: GDS, 2002.
Berdasarkan gambar di atas, warga masyarakat memberikan penilaian buruk atas kinerja lembaga-lembaga penyelenggara pelayanan Pemerintah. Kinerja penyelenggaraan pelayanan publik pada tingkat yang paling mendasar sekalipun masih belum dapat memberikan pelayanan yang sesuai dengan harapan warga masyarakat. Secara nasional, kinerja lembaga-lembaga pelayanan publik pada tingkat paling bawah, seperti kantor kepolisian, kantor kecamatan, kelurahan, dan sebagainya, masih mengembangkan sistem pelayanan yang belum berpihak pada kepentingan warga pengguna layanan. Belum banyak terlihat tumbuhnya suatu kesadaran dan komitmen di kalangan birokrasi bahwa kepentingan dan kepuasan warga pengguna adalah orientasi utama dalam setiap pemberian pelayanan publik.
Pada era otonomi daerah terdapat kecenderungan terjadinya pergeseran poros KKN dalam birokrasi. Meskipun secara umum terjadi pergeseran pusat KKN dari birokrasi ke legislatif (GDS, 2002:111), namun birokrasi ternyata tetap merupakan aktor “penting” dalam peta KKN di era otonomi daerah. Apabila pada masa Orde Baru, poros KKN banyak melibatkan pejabat birokrasi pusat, pejabat birokrasi propinsi, dan Pengusaha, maka pada era otonomi daerah poros korupsi (terutama di daerah) tidak lagi banyak melibatkan pejabat pusat, melainkan berada di pihak Bupati/Walikota dengan pegusaha dan politisi lokal (anggota DPRD). Para “pemain lama” di tingkat lokal, seperti Gubernur telah mulai bergeser perannya digantikan oleh Bupati/Walikota. Para pengusaha saat ini lebih memilih untuk melakukan kolusi dengan Bupati/Walikota sebagai elit politik paling berpengaruh di daerah, khususnya dalam proses memperoleh tender proyek. Namun demikian, benang merah korupsi tetap sama yakni keterlibatan secara intensif politisi, pengusaha, dan pejabat birokrasi, hanya saja saat ini para “pemainnya” lebih banyak mengambil para “pemain lokal”. Pengakuan salah seorang pengusaha di Jawa Tengah berikut setidaknya dapat menggambarkan fenomena KKN di era otonomi daerah:
“Para pengusaha di era otonomi daerah saya kira tidak banyak bedanya dengan zaman dulu, Anda kan tahu sendiri lah... bagaimana cara kita untuk mendapatkan proyek, semua harus keluar uang dulu. Dalam bisnis itu namanya kita harus keluar modal dulu, apa maunya mereka kita turuti saja, nanti kita akan tutup dengan dana proyek yang kita dapat.”
(Indept interview, GDS, 2002:141).
Berbagai kondisi di atas tentu saja membawa implikasi buruk pada persoalan daya saing birokrasi pada era global. Upaya ke arah pencapian kinerja birokrasi yang efisien dan akuntabel akan semakin sulit diwujudkan apabila orientasi birokrasi masih belum mengarah pada kinerja kelembagaan yang memenuhi nilai-nilai kompetensi. Birokrasi yang kompetetif tentu saja membutuhkan perbaikan struktur dan kultur kelembagaan yang mengadopsi pendekatan manajerial pelayanan yang berbasis pada perubahan lingkungan. Birokrasi dengan demikian semakin dituntut untuk memperhatikan dan menyesuaikan diri dengan kebutuhan dan tuntutan lingkungan pelayanan, termasuk di dalamnya para pengguna layanan.
Reformasi manajemen birokrasi perlu diarahkan pada perombakan manajemen pelayanan publik, seperti misalnya birokrasi harus dapat mengubah pandangan negatif di masyarakat bahwa berurusan dengan birokrasi pemerintah identik dengan urusan yang rumit, membosankan dan memerlukan uang ekstra agar urusan dapat segera diselesaikan. Birokrasi harus dapat mengubah sikap dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, pejabat birokrasi harus dapar merubah penampilan dari sosok penguasa menjadi sosok yang penuh keramahan, persahabatan, dan sangat membantu ketika berhadapan dengan masyarakat. Birokrasi harus dapat mengadopsi ide-ide atau pemikiran bahwa masyarakat diperlakukan sebagai “pelanggan” (klien atau customer) yang keberadaannya mampu menentukan hidup matinya organisasi birokrasi. Memberikan pelayanan yang memuaskan pengguna layanan, harus diartikan sebagai “profit” bagi organisasi yang akan membuat birokrasi tetap diapresiasi dan dibutuhkan oleh masyarakat.
Krisis Pemberian Pelayanan
Selama kebijakan otonomi berlangsung, tidak terlihat perubahan secara signifikan terhadap perbaikan pelayanan publik di berbagai daerah. Memang terdapat kabar baik dengan adanya kebijakan ini, yakni perpindahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah Kabupaten/Kota dalam pemberian pelayanan publik ternyata masih tetap berlangsung secara normal, tanpa adanya guncangan atau gangguan yang benar-benar dapat membuat sistem pelayanan menjadi kacau. Namun begitu, apabila melihat kondisi pelayanan publik yang buruk semasa sebelum adanya kebijakan otonomi daerah, maka kondisi di atas dapat diartikan bahwa sebenarnya sistem pelayanan publik di Indonesia saat ini berlangsung secara stagnan. Artinya belum terjadi perubahan atau perbaikan terhadap sistem penyelenggaraan pelayanan publik secara baik.
Kemampuan birokrasi pelayanan dalam melakukan tindakan inisiatif pelayanan untuk memuaskan pengguna jasa juga masih terlihat sangat lemah. Birokrasi pelayanan masih sangat rules-driven dalam mengambil keputusan. Pola penerapan aturan secara kaku membuat ruang inisiatif menjadi amat terbatas, sehingga para pejabat birokrasi tidak dapat secara bebas melakukan inovasi pelayanan menyesuaikan dinamika masyarakat yang terus berubah. Dalam era globalisasi dan kompetisi, birokrasi dituntut mampu bekerja secara efektif dan efisien untuk merespon tuntutan dinamika masyarakat yang semakin berkembang. Apalagi di Indonesia sampai saat ini belum dikenal adanya konsep “sunset rules”[3], sehingga amat membatasi keberanian pejabat birokrasi untuk melakukan inovasi pelayanan. Dengan demikian birokrasi masih belum menunjukkan arah untuk memperbaiki kinerja pelayanan yang menghargai kreativitas kerja dan tindakan-tindakan inovatif dalam pemberian pelayanan. Sebaliknya, birokrasi masih terkurung dalam budaya kerja yang bersandar pada mentalitas “minta petunjuk” pimpinan dalam setiap gerak langkahnya, sehingga banyak pola pengambilan keputusan pelayanan yang dirasa sangat lamban dan merugikan masyarakat pengguna layanan. Sebagian besar aparat birokrasi pada saat menemui kesulitan dalam penyelenggaraan pelayanan, justru lebih memilih untuk melakukan penundaan pelayanan yang berakibat pada kerugian warga pengguna layanan ( Dwiyanto, dkk., 2001).
Gambar.. Tindakan Aparat Ketika
Menemui Kesulitan Tugas
Sumber : PSKK UGM, dalam Dwiyanto dkk, 2001.
Tindakan yang dilakukan oleh sebagian besar aparat birokrasi tersebut menunjukkan bahwa budaya kerja di lingkungan birokrasi pelayanan pemerintah belum kondusif bagi penerapan “budaya pelayanan” dalam penyelenggaraan pelayanan kepada warga masyarakat. Para pejabat birokrasi terlihat belum banyak memberikan dukungan bagi pengembangan inovasi dan inisiatif pelayanan kepada para aparat birokrasi pada tingkat bawah (street-level bureucracy). Bahkan pimpinan masih cenderung mengembangkan budaya kekuasaan dalam manajemen pelayanan birokrasi. Kelambanan proses pelayanan di birokrasi seringkali dilakukan dengan berlindung di balik aturan dan prosedur formal yang terkadang sangat sulit untuk dapat dipenuhi oleh warga masyarakat. Inovasi pelayanan di birokrasi masih sulit dikembangkan selama aturan formal masih diperlakukan sebagai the driving force oleh pejabat birokrasi dalam menyelenggarakan pelayanan publik. Penuturan seorang pejabat di salah satu Kantor Badan Pertanahan Nasional kabupaten di bawah ini bisa menggambarkan adanya paradoks dalam penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia :
“Kita tidak mungkin bertindak mendahului Pimpinan, sebab kita tidak mau disalahkan. Semua tindakan kita harus diketahui oleh Pimpinan dan harus selalu sesuai dengan prosedur. Warga harus mengikuti aturan yang ditetapkan oleh pemerintah!.” (Indept Interview, dalam Dwiyanto,dkk. 2001).
Diskresi dalam pemberian pelayanan sebenarnya dimungkinkan asalkan didasarkan pada visi pelayanan. Dalam banyak kasus, banyak aparat birokrasi yang lebih berpegang pada juklak pelayanan dibandingkan dengan visi pelayanan. Hal ini menandakan bahwa visi pelayanan belum dapat dipahami dan diaktualisasikan dalam birokrasi pelayanan secara baik. Sebagai contoh, Kita seringkali melihat di setiap sudut kantor pemerintah selalu terpampang spanduk/poster/slogan yang berbunyi: “kami siap membantu anda”, “Mari kita wujudkan pelayanan prima” dan lain sebagainya. Namun ternyata masih banyak aparat birokrasi yang belum dapat memahami dan menerapkan slogan-slogan itu secara baik dalam pemberian pelayanan sehari-hari. Di sini sebenarnya salah satu akar persoalan birokrasi dalam pemberian pelayanan, yakni secara internal aparat birokrasi sebenarnya belum siap secara kultur untuk menjalankan visi organisasi. Bahkan dalam banyak kasus pelayanan, aparat birokrasi ternyata belum mampu membedakan antara visi dengan slogan atau motto pelayanan. Visi seharusnya ditempatkan sebagai “jiwa pelayanan”, artinya visi harus dapat menuntun aparat dalam pemberian pelayanan, karena visi adalah diibaratkan sebagai “lentera pelayanan” yang dapat tercermin dalam langkah, sikap, dan tindakan aparat pelayanan kepada masyarakat.
Penutup
Reformasi dan otonomi daerah ternyata belum membawa dampak yang signifikan pada terciptanya perubahan kinerja pelayanan birokrasi yang profesional dan mampu mengembangkan jiwa kewirausahaan birokrasi, sekaligus membuat pelayanan menjadi efisien. Orintasi pemberian pelayanan yang diarahkan untuk mengubah dari “budaya petunjuk” ke arah “budaya melayani” ternyata belum belum berjalan secara optimal membawa perubahan dalam sistem dan budaya pelayanan birokrasi. Pelayanan juga masih belum mengalami titik pergeseran dari sekedar “memenuhi aturan” ke arah “kepuasan” pelayanan. Sistem manajemen pelayanan masih memerlukan upaya sistematis dan berkesinambungan untuk diarahkan pada bentuk pelayanan yang memberikan kewenangan lebih besar kepada aparat pelayanan di tingkat bawah untuk melakukan inovasi kebijakan pelayanan yang berdasar pada visi dan misi pelayanan. Peningkatan kemampuan aparat untuk melakukan hal tersebut tentu saja membawa konsekuensi pada penciptaan dan penghargaan terhadap sosok birokrasi pemikir, bukannya pada sosok birokrasi “robot” yang secara kaku memahami dan mentaati suatu peraturan seperti sebuah “kitab suci” pelayanan.
Kebijakan peningkatan kualitas SDM aparat birokrasi melalui dukungan pada studi lanjut aparat ke jenjang pendidikan tinggi, perlu mendapatkan prioritas sebagai bagian dari peningkatan komitmen pengembangan staf di lingkungan birokrasi pelayanan. Pendidikan dan pelatihan teknis yang selama ini diberlakukan oleh Depdagri, kenyataannya tidak mampu meningkatkan kinerja aparat karena hanya dipergunakan sebagai batu loncatan karier semata. Melalui pengiriman aparat ke berbagai perguruan tinggi untuk studi lanjut dan melakukan short-course, diharapkan akan meningkatkan penguasaan konsep-konsep dan pendekatan menajemen pelayanan modern oleh para staf birokrasi pelayanan.
Budaya dalam birokrasi juga masih belum beranjak banyak dari kultur penguasa dalam berinteraksi dengan masyarakat. Belum banyak birokrasi pemerintahan pada tingkat Kabupaten/Kota yang telah mengembangkan semacam Public Service Award yang dapat dipergunakan untuk mengukur kinerja seorang Bupati/Walikota atau Kepala Unit Pelayanan teknis Pemda dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat. Pelembagaan pelayanan publik yang diarahkan pada kepuasan pengguna layanan, seperti misalnya pelembagaan citizens’ charter juga masih belum terlihat dikembangkan oleh birokrasi di daerah. Kondisi-kondisi tersebut yang belum banyak diberikan perhatian besar oleh pemerintah daerah sehingga kultur pelayanan birokrasi pemerintah belum secara efektif mengalami perubahan.
Apabila birokrasi di daerah tidak secara serius mencoba untuk melembagakan sistem pelayanan yang berorientasi pada pengguna layanan, maka birokrasi akan sulit untuk keluar dari “krisis” pemberian pelayanan. Sampai saat ini kultur birokrasi yang masih bercorak “Pengatur” masih tetap dominan, dan belum berubah menjadi kultur “melayani”. Adanya otonomi daerah diharapkan akan dapat memberikan masa transisi pada birokrasi untuk melakukan perubahan strategi manajemen dan kultur birokrasi yang lebih baik di masa-masa mendatang. Oleh Karena itu, birokrasi harus mulai mencoba suatu paradigma baru pemberian pelayanan yang memberikan perhatian yang lebih besar kepada masyarakat pengguna layanan, seperti penerapan pendekatan ‘Citizens Charter” yang sedang dilakukan oleh Pemerintah Kota Jogjakarta, Kota Blitar, dan Kabupaten Semarang.
Referensi
Cullen, Ronald B. & Donald P. Cushman. 2000. Transtitions to Competitive Government: Speed, Consensus, and Performance, State University of New York Press.
Deal, Terrence E. & Allan A. Kennedy. 1982. Corporate Culture: The Rites and Rituals of Corporate Life, Addsion-Wesley Publishing Company, Inc., Massachucetts.
Dwiyanto, Agus. dkk., 2001. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Laporan Penelitian, Kerjasama Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada dan Ford Foundation., Yogyakarta.
Governance and Decentralization Survey (GDS). 2002. Pusat Studi Kependudukan dan Kbeijakan, Partnership for Government Reform, USAID, dan Bank Dunia.
Government of Malaysia. 1996. The Civil Service of Malaysia: Towards Excellence Through ISO 9000, PNMB Publisher, Kuala Lumpur.
Osborne, David & Peter Plastrik. 1997. Banishing Bureaucracy: The Five Strategies for Reinventing Government, Addsion-Wesley Publishing Company, Inc., Massachucetts.
Pratikno. 1999. Mengisi Otonomi DIY, Artikel Lepas dalam Debat Opini Otonomi Daerah, Harian Kedaulatan Rakyat, 16 November, Yogyakarta
Turner, Mark & David Hulme. 1997. Governance, Administration and Development, Kumarian Press, Inc., Connecticut
Zeithaml, Valerie A., A Parasuraman & Leonard L. Berry. 1990. Delivering Quality Service: Balancing Customer Perceptions and Expectations, The Free Press A Division of Macmillan, Inc. New York.
Harian:
Jawa Pos, 5 September 2003. “Indonesia Selevel Suriname Dalam Peringkat Investasi Asing.”
[1] Peneliti pada Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM & Staf Pengajar Magister Studi Kebijakan (MSK) UGM.
[2] Governance and Decenralization Survey, 2002. Kerjasama Bank Dunia dan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM.
[3] Sunset rules adalah suatu ketentuan bahwa sebuah peraturan ditentukan masa berlakunya sehingga apabila peraturan tersebut tidak disahkan kembali, maka peraturan tersebut boleh dilanggar oleh pejabat publik. Ketentuan ini untuk memberikan ruang diskresi kepada para pejabat publik dalam mengantisipasi perubahan atau dinamika masyarakat yang sangat cepat sehingga peraturan yang ada seringkali menjadi tidak relevan dengan perkembangan jaman.